Saturday, January 12, 2019

Kota yang Bahagia

Bekerja dengan isu yang sangat dekat dengan manusia dan tempat tinggalnya selalu membuat saya bertanya-tanya. Tulisan tentang kota dan manusianya memberi saya beragam pengetahuan dan pengalaman baru. Untuk saya yang cukup apatis dengan sistem yang berjalan, masalah orang lain dan  politik, membicarakan hal-hal berskala besar sebetulnya membuat saya pusing. Tapi saya semakin sadar bahwa saya bisa jadi berperan sebagai penyebab masalah sekaligus korban dari sistem tatanan kota yang saya tinggali.

Apakah kebahagiaan saya dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal saya?

Saya akhir-akhir ini mudah merasa sedih. Hal yang kecil membuat saya cukup sensitif dan berpikir kurang jernih. Hal ini membuat saya kurang semangat bekerja, mudah lelah, sulit berinovasi dan mudah takut.

Katanya wajar, saat diri sudah beranjak dewasa, menyesuaikan dengan beragam tanggung jawab bisa jadi melelahkan. Apalagi bergelut dengan middle twenty crisis. Usia yang sudah cukup untuk jadi seutuhnya mandiri dan dewasa lahir batin. Saya masih coba untuk terus beradaptasi. Tapi apa saya saja? Apa yang saya alami sehari-hari salah satunya punya andil?

Kota yang saya tinggali adalah kota yang cukup sibuk. Sejak lahir saya tinggal di kota ini. Banyak hal yang saya kira adalah hal wajar meskipun menyusahkan. Banyak hal yang membuat saya takuti di lingkungan saya. Namun ada juga hal-hal yang semakin lama semakin baik.

Satu hal yang sering orang-orang keluhkan adalah sistem transportasi. Macet dan macet, begitu ciri khasnya. Mau pilih yang tidak macet, ongkos ke stasiun atau terminal lumayan juga. Belum lagi jadwalnya yang masih tidak konsisten. Angkot yang ngetem lama. Motor yang saling kebut dan salip. Mobil yang sudah diprioritaskan dengan jalan tol, masih saja ngotot didewakan di jalan kecil. Jalan kaki dianggap sama sekali bukan pilihan.

Juga jauh jaraknya antara rumah dan tempat kerja. Harus pilih prioritas: kesehatan, keluarga, pekerjaan, waktu atau uang. Sulit untuk pilih semua. Jika mau penghasilan besar, pilih tempat kerja  di tengah kota, rumah di pinggir, mengorbankan waktu bersama keluarga untuk durasi perjalanan, mengorbankan uang untuk pilihan transport yang nyaman. Di akhir hari, hanya ada lelah yang tak sudah-sudah. Berhimpitan dengan orang-orang yang sama lelahnya. Boro-boro mengobrol. Lempar senyum aja sulit. Duh.

Itu salah satu gelut yang saya alami. Awalnya saya pikir inilah takdir yang saya harus maklumi.

Apakah saya harus mengalaminya sepanjang hari?

Pindah dari kerja bisa jadi salah satu opsi. Tapi tidak ada jaminan apapun yang bisa meyakinkan saya jadi lebih bahagia. Bisa jadi faktor lainnya membuat saya sedih. Lalu apa yang bisa saya lakukan?

Definisi Kota Bahagia

Menurut buku Happy City by Charles Montgomery, bagaimana kota beroperasi menentukan kebahagiaan warganya. Pemimpinnya bisa saja punya macam-macam kebijakan berdasar pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, atau tingkat pendapatan perkapita. Kita bisa saja kaya, namun belum tentu bahagia.

Bahagia yang saya rasakan yaitu ketika saya merasa dibutuhkan dan yang saya lakukan merasa diapresiasi.

Keseimbangan kerja juga penting bagi saya. Tempat kerja yang jauh dan kerap membuat saya pulang malam terkadang membuat saya senewen. Saya jadi gampang tersinggung ketika sampai rumah. Saya yang takut marah-marah karena senewen, biasanya memutuskan untuk terus tidur tanpa lanjut komunikasi dengan anggota keluarga lain. Karena pulang malam dan lelah, saya kesiangan. 

Besok paginya bangun telat, dengan senewen, karena saya jadi tidak bisa berangkat bareng ayah. Ongkos jadi makin mahal, naik pilihan yang lebih murah akibatnya makin lama saya sampai. Di kantor sudah siang. Sudah bete dan capek. Butuh waktu cukup lama untuk konsentrasi, padahal banyak yang dikerjakan. Akibatnya pulang malam lagi. 
Saya belum cerita tentang masih canggungnya saya dengan tetangga.

Begitu seterusnya?

Never ending loop ini bukan hanya saya saja yang merasakan. Melihat muka-muka lelah di commuterline malam hari membuat saya bertanya, apa yang sebetulnya kami semua kejar? Kesejahteraan melalui gaji cukup? Keluarga yang bisa ditemui setiap hari? Kepuasan personal akan apresiasi di bidang pekerjaan kita?

Kota menentukan nasib kita semua. Kenapa saya harus bekerja di tempat yang jauh? Kenapa tempat kerja saya sulit dijangkau? Kenapa saya harus sampai kantor dalam waktu yang lama?

Kota dengan segala ruangnya seharusnya dapat meredakan penat dan lelah warganya. Melihat etalase toko yang cantik, melewati taman yang apik atau bersepeda di jalan pulang mungkin bisa sedikit memperbaiki suasana hati. Namun hal itu tidak saya temui.

Tempat tinggal dan kantor yang bisa dilalui dengan cepat, ongkos yang murah dan melewati wajah-wajah ramah juga berkenalan dengan salah satunya mungkin bisa membuat saya lupa sejenak akan peliknya dunia kerja. Namun tak saya rasakan.

Orang-orang yang bergerak cepat. Muka lelah yang tak ramah. Jalur pejalan kaki yang rusak membuat semua keluhan saya lengkap. Boro-boro memperhatikan kejadian menarik di sekitar. Saya terus menunduk ke bawah, takut terantuk jalan tak rata atau masuk ke lubang got. Saya merasa sendirian. Sambil bertanya kenapa saya mau mengulang kejadian ini setiap hari.

Lalu Bagaimana?

Kebahagiaan itu banyak faktornya. Namun, yang saya pelajari, mau faktornya hal yang besar atau hal-hal sederhana sama efeknya ke saya. Terkadang saya percaya kebahagiaan itu karena nasib saja. Kalau pun belum bahagia, itu katanya karena Tuhan masih kasih kita cobaan. Ternyata, kota kita tinggal juga menjadi salah satu penentu kebahagiaan.

Tapi tak semua tanggung jawab akan kota yang bahagia dipikul oleh walikota. Kita bisa berbuat apa ya? Saya juga masih banyak belajar membuat  lingkungan saya bisa merasakan sedikit kebahagiaan. Tak lupa untuk diri sendiri merasa bahagia saat menjalankannya.

Kita bisa memulai dari hal yang kita suka. Kalau saya suka menari, saya ajak teman-teman di sekitar untuk belajar tari. Kalau saya suka menggambar, mungkin bisa ajak teman-teman jalan-jalan keliling kota sambil menggambar.

Apalagi ya?
Mungkin teman-teman bisa tambahkan?

Running Out of Time

Hari ini aku mengerjakan hal-hal yang belum aku sempat selesaikan. Padahal, masih dalam hitungan libur. Entah karena aku kurang pandai mengatur waktu atau merasa terlalu lama mengerjakan  satu hal

Akhir-akhir ini aku juga gampang sedih. Entah kenapa gampang banget sensitif dengan semua keadaan. Padahal, tidak ada hal yang terlalu memberatkan untuk aku pikirkan. Mungkin hanya bosan. Bisa jadi terlalu membanding-bandingkan.

Dua minggu yang lalu aku berinisiatif untuk uninstall instagram. Rasanya lega. Tapi belum cukup untuk memberhentikan rasa kepo. Kadang-kadang masih suka ngintip dari balik google chrome. Melihat-lihat kehidupan orang lain. Banyak yang memiliki kemajuan di hidupnya. Beralih ke fase hidup lainnya. Berganti kerja, menempuh S2, memulai rumah tangga dan mengemban tanggung jawab baru sebagai orang tua. Sembari melihat-lihat kadang muncul rasa iri.

Membandingkan seharusnya jadi pemicu. Motivasi untuk diri lebih baik dan berdaya. Tapi ya, namanya juga manusia. Penuh godaan untuk selalu merasa kurang. Inginnya lebih dan lebih.

Kadang jadi bahan introspeksi diri. Tapi rasanya lebih mudah menyalahkan keadaan daripada diri sendiri.

Lalu melihat sekeliling. Rasanya malu jika merasa serba kekurangan. Ada yang lebih semangat berbuat baik di segala keterbatasan yang Allah beri. Meskipun mungkin dirinya tak selalu dapat perhatian orang lain, apresiasi, juga keuntungan  materi.

Tulisan menuju tahun 2019.
Mengapa rasanya berisi banyak keluhan?
Mengapa tidak melihat hikmah dan berkah dibalik semua kekurangan?

Dua ribu sembilan belas
Terkadang lelah dengan segala ambisi muda
Hanya meminta untuk bisa selalu dan selalu berguna
Juga, perasaan bahagia
Lalu juga pandai pandai mengolah rasa
Memberanikan diri untuk bisa menerima segala kemungkinan terbuka

Semoga

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...