Pada saat perkuliahan, saya berlatar belakang interior dan jarang
membahas tentang konteks kota. Kota, menjadi ruang bermain yang sangat besar di
kepala saya. Interaksi manusia dengan ruang kota dan sebab akibat yang
melatarbelakanginya menjadi hal yang benar-benar baru saya pelajari.
Beberapa proyek LabTanya yang berhubungan dengan kota pun sempat
saya ikuti. Tantangan setiap kegiatan tentu berbeda, namun ada beberapa hal
yang bisa saya ambil hikmahnya. Kegiatan tersebut antara lain A[park]ment,
CaPing Tanpa Sampah, dan SERABI. Lingkup masing-masing proyek bervariasi. Jika
A[park]ment menyasar komuter yang bekerja di pusat kota dan tinggal di
suburban, CaPing Tanpa Sampah fokus hanya di satu lingkup rukun warga.,
sedangkan SERABI bermain dengan konteks kota suburban yaitu: Bintaro
Ketiga proyek ini memiliki tantangan dengan metode partisipasi.
Jika biasanya arsitek mendesain dengan pertimbangan pemikirannya dan klien
ditambah dengan penjajakan seperlunya, maka dalam metode partisipasi ini tentu
harus lebih sabar untuk belajar. Belajar apa? Belajar untuk menahan ego dan
mengerti bahwa ada hal yang bisa didapat kalau kita benar-benar sabar. Menjadi
warga, bukan arsitek. Menjadi teman, bukan sebagai arsitek. Banyak hal yang
bisa kita pelajari dari warga. Menahan diri untuk tidak terjebak dalam
anggapan-anggapan praktis. Membuka mata lebih lebar untuk bisa menemukan
sesuatu. Membuka diri dan hati, membuat sudut pandang baru dari beragam sisi.
Juga belajar untuk melihat peluang, melihat kebaikan atas sesuatu, bukan melulu
fokus terhadap masalah yang harus diselesaikan. Proyek-proyek ini tentu bukan
produk langsung jadi untuk bisa diterima. Justru dari penolakan-penolakan saya
belajar. Memulai metode partisipasi dari awal memang sulit. Namun dari
kesulitan justru kita menemukan pembelajaran baru, bukan sebagai kegagalan.
Mengapa harus dengan metode partisipasi?
Partisipasi memiliki
kekuatan dengan bagaimana keputusan-keputusan dilakukan dengan pertimbangan
dari yang menjalani kebijakan. Mendesain dengan metode partisipasi memiliki
kedekatan yang intim dengan pelaku itu sendiri. Hal ini membuat para pelaku
yaitu warga, menjadi mandiri dan dapat dengan fleksibel beradaptasi. Selain
itu, kebijakan-kebijakan apapun yang dibuat tanpa partisipasi warga
dikhawatirkan tidak berkelanjutan, sebaik apapun kebijakan itu dibuat. Selain
itu, inisiatif yang terbentuk tentu akan memiliki ciri khas, sesuai dengan
budaya masyarakat setempat dan akan menjadi sesuatu yang kaya untuk disebar dan
dipelajari.
Metode partisipasi ini sebelumnya saya pelajari dalam materi
perkuliahan. Beragam teori mengacu tentang bagaimana sekelompok masyarakat
memiliki tahapan-tahapan tersendiri sehingga kita harus beradaptasi dengan
tahap tersebut. Perlakuan yang diberikan pun berbeda-beda. Selama melakukan
proyek LabTanya, kami selalu memikirkan tentang seluas apa proyek ini akan
berjalan, siapa target sasarannya, dalam kurun waktu berapa lama, dan kemampuan
masyarakat untuk bisa merespon program yang kami usulkan.
Menurut Sherry R Arnstein tentang “Ladder of Citizen
Participation”, masyarakat memiliki 8 tahapan sebelum menuju ke aktivasi warga
yang sesungguhnya.
“The
bottom rungs of the ladder are (1)
Manipulation and (2) Therapy.
These two rungs describe levels of "nonparticipation" that have been
contrived by some to substitute for genuine participation. Their real objective
is not to enable people to participate in planning or conducting programs, but
to enable powerholders to "educate" or "cure" the
participants. Rungs 3 and 4 progress to levels of "tokenism" that
allow the havenots to hear and to have a voice:
(3)
Informing and (4) Consultation.
When they are proffered by powerholders as the total extent of participation,
citizens may indeed hear and be heard. But under these conditions they lack the
power to insure that their views will be heeded by the powerful. When
participation is restricted to these levels, there is no follow-through, no
"muscle," hence no assurance of changing the status quo. Rung (5) Placation is simply a higher level
tokenism because the ground rules allow have-nots to advise, but retain for the
powerholders the continued right to decide.
Further up the ladder are levels of
citizen power with increasing degrees of decision making clout. Citizens can
enter into a (6) Partnership that
enables them to negotiate and engage in trade-offs with traditional power
holders. At the topmost rungs, (7)
Delegated Power and (8) Citizen Control, have-not citizens obtain the
majority of decision-making seats, or full managerial power.”
Jika
ditelisik dari teori ini dan dihubungkan dengan kegiatan LabTanya, secara garis
besar yang kami lakukan adalah dalam tahap “informing” dan “consultation”. Meskipun
dalam detailnya ada banyak tahapan yang mungkin tidak disebut, namun secara
sederhana kedua praktik itu yang lebih banyak disorot. Warga yang
kami libatkan kebanyakan adalah warga Bintaro, yang notabene adalah warga
dengan tingkat ekonomi menengah keatas dan berpendidikan tinggi. Kebanyakan
adalah para praktisi atau pensiunan yang bergerak di macam-macam bidang. Tentu
memiliki tantangan tersendiri karena tidak seperti program partisipasi yang
biasanya bertempat di masyarakat marginal. Awalnya meskipun memiliki sambutan
antusias, namun belum banyak yang membangun kegiatan ini dengan kesadaran
‘aktivasi warga’. Jadi kurang lebih pada tahap awal satu tahun kegiatan
LabTanya, yang kami lakukan adalah menggali informasi sebanyak-banyaknya dan
menyebarkannya pada sasaran yang tepat. Menggali informasi terlebih dahulu
menjadi satu strategi komunikasi untuk menawarkan inisiatif sesuai fakta yang
dekat dan dapat dirasakan langsung oleh warga.
Misalkan
dalam kegiatan CaPing Tanpa Sampah, sebelum bertemu dengan warga, kami menggali
informasi dahulu sebanyak mungkin tentang jumlah sampah yang dihasilkan di
lingkungan mereka. Kami juga melakukan kunjungan ke TPA yang menampung sampah
warga. Memetakan gerobak pengepul dan jenis sampah apa saja yang diterima
menjadi tawaran kepada warga untuk bisa lebih mudah mengikuti kegiatan. Selain
itu, mendapatkan para relawan yang mau dihitung sampah hariannya dan diuji coba
dalam praktek mengurangi sampah menjadi contoh bagi warga lain. Informasi ini
terus dikumpulkan dan disebar pada waktu dan sasaran yang tepat. Sehingga pada
tahun pertama ini yang terus dilakukan adalah memetakan informasi.
Metode
komunikasi menjadi satu hal yang penting untuk menyampaikan maksud dan tujuan
tanpa terkesan memberi tugas besar dan merepotkan bagi warga. Dalam tahap ini
hubungan dua arah menjadi hal krusial. Tak hanya menyampaikan inisiatif,
namun juga membuka diri untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya. Mengikuti
kegiatan warga menjadi salah satu metode untuk tahap awal agar mengerti budaya
warga setempat dari kacamata mereka.
Selagi
menggali informasi dari warga, menemukan orang-orang sebagai “kunci” juga
menjadi salah satu sorotan penting memulai inisiatif. Dalam prosesnya,
orang-orang yang memiliki kesamaan motivasi dan bisa diandalkan dalam
kelompoknya menjadi pendorong utama untuk memulai inisiatif. Biasanya juru
kunci ini menjadi seseorang yang menjabat di lingkungannya, meskipun tidak
selalu demikian. Memegang kepercayaan juru kunci ini juga merupakan akses yang
cukup membantu untuk keberlanjutan program.
Dalam
proyek SERABI, kami bekerjasama dengan beragam komunitas di Bintaro. Tak bisa
dikatakan mudah pada awalnya. Beberapa inisiatif memang belum ditanggapi dengan
serius. Mungkin terkendala dengan prioritas komunitas itu sendiri. Namun, kami
rasa ketika bekerjasama dengan pemuda-pemuda karang taruna Pondok Pucung,
Arseda, kami melihat adanya potensi keberlanjutan karena mereka sudah memiliki
pondasi yang kuat sebagai suatu perkumpulan. Mungkin karena pemuda-pemuda
tersebut memiliki ikatan yang kuat dengan lingkungannya, maka dalam tahap ini
LabTanya hanya masuk dalam tahap ‘consulting’. Mereka sudah memiliki inisiatif
awal, namun terkendala kegiatan lanjutan. Disini proses pendekatan kurang lebih
sama dengan proyek Kota Tanpa Sampah yaitu mengikuti acara ‘nongkrong’nya.
Selanjutnya kerjasama berjalan karena Serabi dan Arseda saat itu memiliki
tujuan yang sama. Maksud inisiatif dapat tersampaikan karena sudah masuk dalam
satu frekuensi. Lebih detailnya, memang terdapat “juru kunci” dalam komunitas
Arseda yang dipandang sebagai sosok pemimpin dan inisiator. Juru kunci inilah
yang bisa mendorong inisiatif sampai ke titik partisipasi.
Banyak
potensi yang ada di lingkungan Bintaro terkait dengan kegiatan yang kami
lakukan. Namun, tantangan selanjutnya adalah bagaimana program ini dapat
berlangsung secara keberlanjutan. Banyaknya pensiunan di lingkungan kami serta
pekerja yang bolak-balik Jakarta-Bintaro, menemukan pemuda-pemuda sebagai
penerus kegiatan ini tentu bukan pekerjaan yang mudah. Dari beberapa hal yang
kami diskusikan dalam Ngobrol Serabi: Potensi Bintaro, keputusan warga untuk
tidak ikut serta dalam beragam kegiatan selain bekerja dan urusan keluarga
adalah banyaknya waktu yang mereka habiskan dalam perjalanan sebagai komuter.
Hal itu menyebabkan kurangnya waktu mereka di rumah dan waktu akhir pekan yang
banyak dihabiskan untuk berjalan-jalan di pusat perbelanjaan atau di rumah. Hal
ini yang lebih lanjut lagi kami temukan sebagai kemungkinan penyebab beragam
komunitas kreatif di Bintaro kurang berjalan aktif.
Terkait dengan perjalanan
rumah-kantor para komuter di Bintaro yang menyebabkan tidak ada waktu untuk
warga berkumpul dengan komunitas, saya teringat tentang proyek A[park]ment. A[park]ment
memiliki isu utama yaitu bagaimana kota belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan
ruang bagi warganya. Dengan menggunakan mobilitas komuter sebagai salah satu
bahan kajian, ternyata masalah laten Jakarta seperti kemacetan terjadi karena
urutan kejadian yang saling berhubungan. Menjadi komuter, selain berpengaruh
kepada kota yang dituju sebagai tempat bekerja, juga dapat berpengaruh ke
budaya pekerja itu sendiri di lingkungan tempat tinggalnya. Mungkin kedekatan
antara tempat bekerja dan tempat tinggal juga berperan dalam bagaimana warga
dapat menempatkan diri untuk berkumpul, berinisiatif dan berpartisipasi di
lingkungannya. Hal tersebut menjadi suatu poin yang dipertimbangkan untuk
mengidentifikasi tahapan lingkungan akan suatu partisipasi warganya.
Tahapan dari partisipasi
warga ini mungkin memiliki variabel yang berbeda-beda di setiap tempat. Untuk
dapat mencapai partisipasi aktif warga memang perlu dilakukan beragam motivasi.
Akan lebih tepat sasaran apabila motivasi tersebut muncul dari galian-galian
informasi yang bisa dipetakan dengan baik. Informasi yang telah kita dapatkan
bisa menjadi suatu tawaran sehingga inisiatif ini dapat direspon oleh warga,
baik berupa saran dan kritik. Saran dan kritik inilah yang sebenarnya penting
dalam urbanisme warga, yaitu berkumpul untuk musyawarah dan berdiskusi,
membahas suatu isu dan potensi, menyampaikan pengetahuan ke generasi
selanjutnya. Jika minimal budaya menggali informasi, menyebarkan, dan berkumpul
ini kembali mengakar, maka itulah salah satu pintu untuk mendorong warga
kembali aktif berinisiatif.