Sunday, December 22, 2013

Laut - Goenawan Mohamad


Siapa terpukau laut, tak akan membangun monumen. Nenek-moyang kita, para pelaut — generasi-generasi yang berlayar dari pelbagai pesisir — tak meninggalkan arsitektur yang ingin mengenang dan ingin dikenang di bandar dan pantai mereka.
Laut adalah “tujuan biru”, menurut frase Chairil Anwaryang tak terduga-duga. Tapi kita tahu, “biru”adalah warna dari segala yang jauh. Dengan kata lain, laut pada akhirnya ruang yang tanpa hektar, di mana arah dan perbatasan hanya tampak pada susunan bintang, dan ombak, yang tak terhitung,muncul dan lewat terus menerus. Seperti kekal. Saya tak pernah tahu di mana cakrawala dibatasi waktu di keluasan itu.
Mungkin itu sebabnya, dalam imajinasi, terkadang laut adalah metafor bagi pembebasan dari beban sejarah.Laut melebur segala pusaka.
Kita baca kembali sajak S. Takdir Alisyahbana, “Menuju Ke Laut”. Di sana tergambar sebuah biduk yang meninggalkan masa lalu. “Telah kutinggalkan engkau,” katanya, “teluk yang tenang tiada beriak.” Teluk itu perlindungan yang memperdaya dan mengungkung. Takdir menampiknya. Ia ingin generasinya lepas dari sana dan memasuki laut, ke dalam kehidupan yang dinamis, karena “teluk yang tenang tiada beriak” itu cuma sebuah ketentaraman warisan yang kadaluwarsa. Modernitas telah menggebrak pintu. Tradisi, adat istiadat, yang berabad-abad jadi dasar hidup yang aman itu sedang digantikan dengan sesuatu yang lebih terbuka dan mengasyikkan.
Takdir menggambarkan laut sebagai keasyikan tersendiri. Ia menyebut “ombak ria berkejar-kejaran”. Ia tak menampakkan laut sebagai ruang petualangan dan ketidak-pastian. Ia, yang percaya bahwa sastra harus mengkampanyekan hal yang baik, (baginya tak ada “seni untuk seni”), ingin agar dunia modern tampil memikat. Takdir bukan orang yang akan mengatakan bahwa modernisasi memperkenalkan manusia dengan krisis: penuh risiko, penuh peluang. Ia tak hendak mengakui bahwa laut bisa jadi kiasan bagi krisis itu. Sajaknya ditulis sebelum Revolusi 1945.
Di tahun 1940-an, Rivai Apin menulis:
Tiada tahan
ke laut kembali, mengembara
cukup asal ada bintang di langit
Berbeda dengan imaji yang dipilih Takdir, dalam sajak Rivai laut adalah avontur yang menantang, sebuah rantau yang riskan. “Aku” dalam sajak ini siap menghadapi, bahkan mencari,”taufan gila.” Yang kita baca adalah sebuah manifesto pembangkangan terhadap sekitar, terhadapmasyarakat yang seperti fosil.”Batu semua!”, hardik Rivai. Ada kejengkelan yang tak kita temukan dalam sajak teratur S. Takdir Alisyahbana. Bagi Rivai, apa yang kukuh, keras, beku, tak hanya harus ditinggalkan, tapi juga dimaki.
Tapi di sini kita juga bisa tersesat. Laut dalam sajak-sajak itu — yang ditulis penyair perantau, bukan pelaut sesungguhnya — seakan-akan tak ada kaitannya dengan ruang yang lain, yang lebih terkait dengan masa silam: jung atau biduk, perahu atau kapal, di mana sang “aku” berada.
Kapal adalah bagian dari petualangan, tapi ia juga tak bersatu lebur dalam wilayah petualangan itu. Ia bahkan sebuah kontras. Dalam kapal itulah sebenarnya hidup bukan selamanya penjelajahan yang heroik.Dalam kapal, untuk mamakai kata-kata Chairil Anwar (dalam sajak “Kabar dari Laut”), “hidup berlangsung antara buritan dan kemudi”.
Bahkan jika laut bisa dijadikan kiasan kemerdekaan, kapal sebaliknya. “Berada dalam kapal adalah berada dalam penjara”, kata Samuel Johnson, penulis Inggris abad ke-18.
Imajinasi orang ini agak terbatas. Johnson seorang penyusun kamus yang termashur; ia bukan penyair. Tapi kata-katanya mengingatkan kita kenyataan ini: kapal juga produk dari hubungan sosial.Ada pemilik dan majikan, ada jual-beli, hierarki, dan kelasi yang terasing atau mualim yang tak bebas.
Kapal juga sesuatu yang hadir dan menandai bahwa daratan tak dapat dipungkiri. Tiap pelaut akan berlabuh. Kapal menyimpan ingatan, bukan cuma di kabin nakhoda, tapi di seluruh kehadirannya. Ada kemarin yang akan, dan perlu, dijelang kembali. Dengan monumen ataupun tidak.
Tapi apa yang perlu diingat, sebenarnya? Apa yang ingin dilupakan? Setelah bahtera kembali, para pelaut mungkin tak berniat membangun monumen tentang perjalanan mereka yang gagah berani dan bersejarah mengarungi laut. Tapi selalu ada saat manusia memuji yang agung dan memuja yang kekal dalam dirinya. Persoalannya, adakah ia mengakui bahwa ada yang tersingkir di tengah puja-puji itu. Di pesisir yang kering, kita mungkin ditinggalkan, tersingkir, atau tak sadar bahwa kita juga bisa tersingkir.
Di akhir sajak “Kabar Dari Laut” Chairil Anwar memergoki siapa saja dengan pertanyaan yang seperti sebilah pisau bedah:
Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,
Atau di antara mereka juga terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi sangkar?
Goenawan Mohamad

sumber: http://goenawanmohamad.com/2013/11/16/laut/

Sunday, December 15, 2013

Pameran Ekskursi Wakatobi 2013

Akhirnyaaa amanah ini selesai~

Puas sama hasilnya, senang banyak yang bilang baguuus :)

Bener-bener mimpi jadi nyata,
Bisa berpetualang ke daerah paling jauh di Indonesia yang bisa saya capai
Bisa pameran di Salihara (padahal dulu cuma bisa kagum-kagum doang karna sering maen kesana XD)
Bisa keluarin buku jugaaa,
Banyak feedback positif (salah satunya dari Pak Goenawan Mohamad via twitter, kyaaaa~)

Terima kasih teman-temaaan~
Terima kasih seluruh BPH dan panitia ekskursi~ udah saling support satu sama lain, maaf kalo kadang ngeselin atau rapat yang ngaret, konflik itu memang selalu ada hhoo :) maaf kalo aku belum bisa jadi wakabid materi yang baik~
 
Maaciiih buat Bobskichi~, kabid materi yang kadang suka rangkep jabatan jd PO, ambisius dan paling semangat kalo ketemu dosen. Meski kadang galau dan gak fokus, tapi semangatnya buat jadiin ekskursi sukses tetep paling kece. Bobskichi ngimbangin gw yang penakut dan banyak khawatir tanpa alasan. "Tenang, Me, kerjain satu-satu, pasti kelar", pesen Bobby yg paling gw inget. Ohiya Bobs, gw bohong kalo gw bilang ga pernah nangis gara-gara ekskursi hhaa. Thanks for being the best partner!

Maaciiih buat Annas-chan, temen curhatan dan keluarin uneg2, kadang2 Annas suka ngambek dan meledak2, tapi kalo ga begitu, ekskursi ini ga berjalan kayak gini~ maacih Naschaan~

Terima kasiiiih teman-teman geng GI~ Apis, Azka, Acenk, Aji, Hoho, dan kawankawan yang sering mampir, udah bolehin gw nge basecamp sampe di baptis jd anak GI hhaa. Benar2 kosan sarang penyamun. 

Terima kasih tak terhinggaa buat tim materi~ apalagi buat yang bertahan hingga akhir, terima kasih banyaak~
Apalagi buat Dincuy, Dio, Rendy, Omma, Suha, Nupay, Piter, Tia, Mbakfii, dkk
Makasih buat tularan semangatnya, makasih buat saling supportnya :")

Terus terakhir, spesial buat dedek Ochin, dedek2 paling kuat dan tegar yang gw tahu, sering diingetin Ochin, sampai ngasih semangat tulus, gigih pula. Temen pusing, stress, dan sibuk bersama. Yang penting kita tahu, kita belajar sangat banyaaak kali ini. Maaciiih dedek Ochiiin~ 

Tahun ini diisi pengalaman paling berharga
Sekali lagi, seperti curhatan saya 2 minggu lalu:

"Kalau nanti saya bisa menangis karena amanah ini,
Saya ingin menangis,
Karena terharu akan bantuan teman-teman semua"


Semuaa terima kasiih :"")

Satu amanah selesai, mari menjemput amanah lainnya~













credit photos: Robin Hartanto (numpang comot kakaknyaa~ abis potonya bagus :D)

Sunday, December 1, 2013

Majolica Majorca

Well, I just know this Shiseido's cosmetic brand, but I already love this,
because their commercial movie always impressive with their fairy tale touch!
Their concept is, a magic cosmetic that can give you mysteriously charming look~

Majolica Majorca, I'm wondering... what's the meaning behind this name?
Just curious, this name sounds odd, but add the magical feeling, oh, whatever!
This is what I imagined when magical-wonderland-fairy-tale-theme would look alike!

I love the animation, songs, their commercial movie, it seems like well concept.
Maybe this really fit for an adult girl who can't grow old because of their fantasy~
Wait until I can try this brand, maybe I'll like this cosmetic too?


Actually this is a bit creepy, listening to this song in the middle of night maybe not an option. 
But, I like the lyrics and melody of this cm. Oh, don't forget the animation! I think this can potray the mysteriousness of the mascara. 






This is the first cm that I saw. Between Alice in wonderland, Kiki and Jiji from Ghibli, and remind me of Kyary Pamyu-Pamyu classic version hahaa. With the title, 'Fantastic Fantasy', they potray a girl who look into small door and she feels like see that fantasy, asking her existence, asking who is she. Oh' sorry I'm just can't  describe this very clearly. This is too abstract, huh?


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...