Saturday, May 27, 2017

Kartu Ucapan Untuk Keluarga

Well, people posting about all good things happened in their life: where they travelling, whom they met on their working place, share photos with their lover, and kids who just born. I'm lying if I said I'm not jealous. I'm not the type of people who updating all of my life moments, but people do asking me what I'm doing all this time. I am good, and feel content, I assured that. Now I'm enjoying interact with children who honestly express themselves.

If you ask me what is the most successful point of my life, It just happened yesterday. Seri Seni, a community I've been organizing for a half year, did something great. We held a workshop about how to make a greeting card for their love ones. The idea of activity itself come from children, but the concept inspired by a book: "Thinking Hand" by  Juhani Pallasmaa (Thanks to Pia :p). Hand as our precious tool of our body, conveys our mental image, our fondest hope and memory, into muscular activity, then processing the message to the outside of our mind. As a result, the outcome could be understood by the people who shares the same experience. It is great by how our mind and body intertwined in the process of conveying our feelings. That is why, there are no things that could replace the sincerity of drawings by hand.

They were tracing their own hand on a piece of paper, making it a 'love' shape in the middle of it so that they can write a message on it. The outcome is pretty and they were really ambitious of what they create. Even when the time is up, they are still busy decorating their greeting card.

The activity is done, and they gave it to the person they love the most. After posting some of pictures to their whatsapp group, one of their mother said that it made her touched by the message. Well, the message drawn by hand had conveyed and even touched their heart. I feel like I'm doing good today and it can fuel my energy for a whole week.













Monday, May 8, 2017

Tahap Partisipasi Warga dalam Kegiatan LabTanya




Pada saat perkuliahan, saya berlatar belakang interior dan jarang membahas tentang konteks kota. Kota, menjadi ruang bermain yang sangat besar di kepala saya. Interaksi manusia dengan ruang kota dan sebab akibat yang melatarbelakanginya menjadi hal yang benar-benar baru saya pelajari.

Beberapa proyek LabTanya yang berhubungan dengan kota pun sempat saya ikuti. Tantangan setiap kegiatan tentu berbeda, namun ada beberapa hal yang bisa saya ambil hikmahnya. Kegiatan tersebut antara lain A[park]ment, CaPing Tanpa Sampah, dan SERABI. Lingkup masing-masing proyek bervariasi. Jika A[park]ment menyasar komuter yang bekerja di pusat kota dan tinggal di suburban, CaPing Tanpa Sampah fokus hanya di satu lingkup rukun warga., sedangkan SERABI bermain dengan konteks kota suburban yaitu: Bintaro

Ketiga proyek ini memiliki tantangan dengan metode partisipasi. Jika biasanya arsitek mendesain dengan pertimbangan pemikirannya dan klien ditambah dengan penjajakan seperlunya, maka dalam metode partisipasi ini tentu harus lebih sabar untuk belajar. Belajar apa? Belajar untuk menahan ego dan mengerti bahwa ada hal yang bisa didapat kalau kita benar-benar sabar. Menjadi warga, bukan arsitek. Menjadi teman, bukan sebagai arsitek. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari warga. Menahan diri untuk tidak terjebak dalam anggapan-anggapan praktis. Membuka mata lebih lebar untuk bisa menemukan sesuatu. Membuka diri dan hati, membuat sudut pandang baru dari beragam sisi. Juga belajar untuk melihat peluang, melihat kebaikan atas sesuatu, bukan melulu fokus terhadap masalah yang harus diselesaikan. Proyek-proyek ini tentu bukan produk langsung jadi untuk bisa diterima. Justru dari penolakan-penolakan saya belajar. Memulai metode partisipasi dari awal memang sulit. Namun dari kesulitan justru kita menemukan pembelajaran baru, bukan sebagai kegagalan.

Mengapa harus dengan metode partisipasi?
Partisipasi memiliki kekuatan dengan bagaimana keputusan-keputusan dilakukan dengan pertimbangan dari yang menjalani kebijakan. Mendesain dengan metode partisipasi memiliki kedekatan yang intim dengan pelaku itu sendiri. Hal ini membuat para pelaku yaitu warga, menjadi mandiri dan dapat dengan fleksibel beradaptasi. Selain itu, kebijakan-kebijakan apapun yang dibuat tanpa partisipasi warga dikhawatirkan tidak berkelanjutan, sebaik apapun kebijakan itu dibuat. Selain itu, inisiatif yang terbentuk tentu akan memiliki ciri khas, sesuai dengan budaya masyarakat setempat dan akan menjadi sesuatu yang kaya untuk disebar dan dipelajari.

Metode partisipasi ini sebelumnya saya pelajari dalam materi perkuliahan. Beragam teori mengacu tentang bagaimana sekelompok masyarakat memiliki tahapan-tahapan tersendiri sehingga kita harus beradaptasi dengan tahap tersebut. Perlakuan yang diberikan pun berbeda-beda. Selama melakukan proyek LabTanya, kami selalu memikirkan tentang seluas apa proyek ini akan berjalan, siapa target sasarannya, dalam kurun waktu berapa lama, dan kemampuan masyarakat untuk bisa merespon program yang kami usulkan.

Menurut Sherry R Arnstein tentang “Ladder of Citizen Participation”, masyarakat memiliki 8 tahapan sebelum menuju ke aktivasi warga yang sesungguhnya.

The bottom rungs of the ladder are (1) Manipulation and (2) Therapy. These two rungs describe levels of "nonparticipation" that have been contrived by some to substitute for genuine participation. Their real objective is not to enable people to participate in planning or conducting programs, but to enable powerholders to "educate" or "cure" the participants. Rungs 3 and 4 progress to levels of "tokenism" that allow the havenots to hear and to have a voice:
(3) Informing and (4) Consultation. When they are proffered by powerholders as the total extent of participation, citizens may indeed hear and be heard. But under these conditions they lack the power to insure that their views will be heeded by the powerful. When participation is restricted to these levels, there is no follow-through, no "muscle," hence no assurance of changing the status quo. Rung (5) Placation is simply a higher level tokenism because the ground rules allow have-nots to advise, but retain for the powerholders the continued right to decide.
Further up the ladder are levels of citizen power with increasing degrees of decision making clout. Citizens can enter into a (6) Partnership that enables them to negotiate and engage in trade-offs with traditional power holders. At the topmost rungs, (7) Delegated Power and (8) Citizen Control, have-not citizens obtain the majority of decision-making seats, or full managerial power.”

Jika ditelisik dari teori ini dan dihubungkan dengan kegiatan LabTanya, secara garis besar yang kami lakukan adalah dalam tahap “informing” dan “consultation”. Meskipun dalam detailnya ada banyak tahapan yang mungkin tidak disebut, namun secara sederhana kedua praktik itu yang lebih banyak disorot. Warga yang kami libatkan kebanyakan adalah warga Bintaro, yang notabene adalah warga dengan tingkat ekonomi menengah keatas dan berpendidikan tinggi. Kebanyakan adalah para praktisi atau pensiunan yang bergerak di macam-macam bidang. Tentu memiliki tantangan tersendiri karena tidak seperti program partisipasi yang biasanya bertempat di masyarakat marginal. Awalnya meskipun memiliki sambutan antusias, namun belum banyak yang membangun kegiatan ini dengan kesadaran ‘aktivasi warga’. Jadi kurang lebih pada tahap awal satu tahun kegiatan LabTanya, yang kami lakukan adalah menggali informasi sebanyak-banyaknya dan menyebarkannya pada sasaran yang tepat. Menggali informasi terlebih dahulu menjadi satu strategi komunikasi untuk menawarkan inisiatif sesuai fakta yang dekat dan dapat dirasakan langsung oleh warga.

Misalkan dalam kegiatan CaPing Tanpa Sampah, sebelum bertemu dengan warga, kami menggali informasi dahulu sebanyak mungkin tentang jumlah sampah yang dihasilkan di lingkungan mereka. Kami juga melakukan kunjungan ke TPA yang menampung sampah warga. Memetakan gerobak pengepul dan jenis sampah apa saja yang diterima menjadi tawaran kepada warga untuk bisa lebih mudah mengikuti kegiatan. Selain itu, mendapatkan para relawan yang mau dihitung sampah hariannya dan diuji coba dalam praktek mengurangi sampah menjadi contoh bagi warga lain. Informasi ini terus dikumpulkan dan disebar pada waktu dan sasaran yang tepat. Sehingga pada tahun pertama ini yang terus dilakukan adalah memetakan informasi.

Metode komunikasi menjadi satu hal yang penting untuk menyampaikan maksud dan tujuan tanpa terkesan memberi tugas besar dan merepotkan bagi warga. Dalam tahap ini hubungan dua arah menjadi hal krusial. Tak hanya menyampaikan inisiatif, namun juga membuka diri untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya. Mengikuti kegiatan warga menjadi salah satu metode untuk tahap awal agar mengerti budaya warga setempat dari kacamata mereka.

Selagi menggali informasi dari warga, menemukan orang-orang sebagai “kunci” juga menjadi salah satu sorotan penting memulai inisiatif. Dalam prosesnya, orang-orang yang memiliki kesamaan motivasi dan bisa diandalkan dalam kelompoknya menjadi pendorong utama untuk memulai inisiatif. Biasanya juru kunci ini menjadi seseorang yang menjabat di lingkungannya, meskipun tidak selalu demikian. Memegang kepercayaan juru kunci ini juga merupakan akses yang cukup membantu untuk keberlanjutan program.

Dalam proyek SERABI, kami bekerjasama dengan beragam komunitas di Bintaro. Tak bisa dikatakan mudah pada awalnya. Beberapa inisiatif memang belum ditanggapi dengan serius. Mungkin terkendala dengan prioritas komunitas itu sendiri. Namun, kami rasa ketika bekerjasama dengan pemuda-pemuda karang taruna Pondok Pucung, Arseda, kami melihat adanya potensi keberlanjutan karena mereka sudah memiliki pondasi yang kuat sebagai suatu perkumpulan. Mungkin karena pemuda-pemuda tersebut memiliki ikatan yang kuat dengan lingkungannya, maka dalam tahap ini LabTanya hanya masuk dalam tahap ‘consulting’. Mereka sudah memiliki inisiatif awal, namun terkendala kegiatan lanjutan. Disini proses pendekatan kurang lebih sama dengan proyek Kota Tanpa Sampah yaitu mengikuti acara ‘nongkrong’nya. Selanjutnya kerjasama berjalan karena Serabi dan Arseda saat itu memiliki tujuan yang sama. Maksud inisiatif dapat tersampaikan karena sudah masuk dalam satu frekuensi. Lebih detailnya, memang terdapat “juru kunci” dalam komunitas Arseda yang dipandang sebagai sosok pemimpin dan inisiator. Juru kunci inilah yang bisa mendorong inisiatif sampai ke titik partisipasi.

Banyak potensi yang ada di lingkungan Bintaro terkait dengan kegiatan yang kami lakukan. Namun, tantangan selanjutnya adalah bagaimana program ini dapat berlangsung secara keberlanjutan. Banyaknya pensiunan di lingkungan kami serta pekerja yang bolak-balik Jakarta-Bintaro, menemukan pemuda-pemuda sebagai penerus kegiatan ini tentu bukan pekerjaan yang mudah. Dari beberapa hal yang kami diskusikan dalam Ngobrol Serabi: Potensi Bintaro, keputusan warga untuk tidak ikut serta dalam beragam kegiatan selain bekerja dan urusan keluarga adalah banyaknya waktu yang mereka habiskan dalam perjalanan sebagai komuter. Hal itu menyebabkan kurangnya waktu mereka di rumah dan waktu akhir pekan yang banyak dihabiskan untuk berjalan-jalan di pusat perbelanjaan atau di rumah. Hal ini yang lebih lanjut lagi kami temukan sebagai kemungkinan penyebab beragam komunitas kreatif di Bintaro kurang berjalan aktif.

Terkait dengan perjalanan rumah-kantor para komuter di Bintaro yang menyebabkan tidak ada waktu untuk warga berkumpul dengan komunitas, saya teringat tentang proyek A[park]ment. A[park]ment memiliki isu utama yaitu bagaimana kota belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan ruang bagi warganya. Dengan menggunakan mobilitas komuter sebagai salah satu bahan kajian, ternyata masalah laten Jakarta seperti kemacetan terjadi karena urutan kejadian yang saling berhubungan. Menjadi komuter, selain berpengaruh kepada kota yang dituju sebagai tempat bekerja, juga dapat berpengaruh ke budaya pekerja itu sendiri di lingkungan tempat tinggalnya. Mungkin kedekatan antara tempat bekerja dan tempat tinggal juga berperan dalam bagaimana warga dapat menempatkan diri untuk berkumpul, berinisiatif dan berpartisipasi di lingkungannya. Hal tersebut menjadi suatu poin yang dipertimbangkan untuk mengidentifikasi tahapan lingkungan akan suatu partisipasi warganya.

Tahapan dari partisipasi warga ini mungkin memiliki variabel yang berbeda-beda di setiap tempat. Untuk dapat mencapai partisipasi aktif warga memang perlu dilakukan beragam motivasi. Akan lebih tepat sasaran apabila motivasi tersebut muncul dari galian-galian informasi yang bisa dipetakan dengan baik. Informasi yang telah kita dapatkan bisa menjadi suatu tawaran sehingga inisiatif ini dapat direspon oleh warga, baik berupa saran dan kritik. Saran dan kritik inilah yang sebenarnya penting dalam urbanisme warga, yaitu berkumpul untuk musyawarah dan berdiskusi, membahas suatu isu dan potensi, menyampaikan pengetahuan ke generasi selanjutnya. Jika minimal budaya menggali informasi, menyebarkan, dan berkumpul ini kembali mengakar, maka itulah salah satu pintu untuk mendorong warga kembali aktif berinisiatif.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...