Ketika mengikuti kegiatan persiapan keberangkatan angkatan 212 di bulan Agustus 2023, saya ingat salah satu narasumber bertanya: “Sudah berapa kali Anda mencoba beasiswa LPDP?”. Banyak yang menjawab sudah dua kali, tiga kali, hingga empat kali. Namun, di ruangan itu saya satu-satunya yang menjawab tujuh kali diantara 300an awardee. Saat seluruh ruangan riuh bertepuk tangan dan narasumber memberikan mic-nya kepada saya, saya sangat bingung apa yang akan saya katakan.
Selama ini saya anggap hal tersebut sebagai aib, alih-alih prestasi. Di saat banyak awardee yang membagikan tips lolos dalam satu kali daftar, saya kok tahan untuk terus-menerus mendaftar sejak 2016 hingga ‘beruntung’ di percobaan ke tujuh. Setelah saya lulus studi master, saya baru dapat merelasikannya. Semua terjadi di saat yang tepat, ketika saya siap, support system cukup, pengalaman bekerja saya mumpuni untuk belajar di jurusan, kampus dan kota yang saya suka. Bonusnya adalah jurusan saya mewajibkan seluruh mahasiswanya untuk pergi penelitian ke Indonesia.
Saya lulus dari jurusan Arsitektur Interior ketika S1 dan mendaftar jurusan Sosial Development Practice untuk jenjang S2. Sekilas, kedua jurusan ini sulit untuk ditemukan benang merahnya. Dugaan saya, inilah yang membuat saya sulit mendapatkan skor tinggi dalam wawancara seleksi LPDP karena saya belum bisa memberikan jawaban lugas akan hal ini. Hal ini salah satunya juga karena saya masih mengeksplorasi hal-hal yang membuat saya tertarik dalam pengembangan karir maupun kontribusi di masa depan.
Ada salah satu pengalaman yang sangat membekas saat saya berada di S1, yaitu mengikuti mata kuliah “Everyday in Architecture”. Mata kuliah ini membahas ‘keseharian’ manusia, hal-hal yang dianggap berpengaruh dalam bagaimana keputusan desain dibuat. Saya baru terpapar juga dengan konsep “Participative Design”, yaitu ketika desainer bukan lagi sebagai sumber ide, namun bagaimana jika desainer menggeser posisinya sebagai fasilitator yang membiarkan siapapun memberikan kontribusi dalam membangun ruangnya. Konteksnya bisa disesuaikan dengan apapun: ruang privat, ruang tinggal, ruang kota, dan lainnya.
Mata kuliah tersebut juga memberikan tantangan kepada mahasiswanya untuk membuat penelitian kecil bersama masyarakat dalam satu semester. Alih-alih berhasil, kegiatan kelompok kami banyak membuat kegagalan. Namun, hal tersebut membuat dosen kami kagum dan mendorong kami lebih jauh: “Berapa kali lagi kalian sanggup membuat kegagalan? Petakan dan analisis kegagalan tersebut, lalu jadikan buku.”
Hal tersebut cukup membekas dalam pengalaman studi saya di S1 sehingga ketika memilih karir pun saya lebih tertarik untuk terjun dalam kegiatan riset partisipatif di sebuah NGO yang fokus dengan konteks urban. Kendati memiliki sedikit pengalaman dalam konsep “Participative Design”, perbedaan antara arsitektur interior dan urban memiliki jarak yang harus saya kejar.
Hingga suatu ketika saat saya kunjungan kerja penelitian dan aksi masyarakat ke kota Banjarmasin, saya menemukan booklet yang dibuat oleh jurusan Social Development Practice, University College London. Hal tersebut menginspirasi saya untuk mencari tahu lebih dalam mengenai kegiatan yang mereka lakukan dan apa saja yang dipelajari. Saya yang sedang mendalami isu partisipasi warga dalam perencanaan kota merasa bahwa ini petunjuk dari Allah untuk bisa mendalami keilmuan ini, ditambah lagi jurusan Social Development Practice UCL juga memiliki fokus wilayah di Global South.
Ketika belajar Social Development Practice, saya merasa bahwa kegelisahan saya selama menjalani pekerjaan saya sebagai peneliti dan aktivis urban dibahas secara mendalam. Salah satu teori partisipasi yaitu Ladder of Participation yang selalu saya jadikan acuan di lapangan akhirnya dijadikan bahasan dalam kelas, beserta pengembangan teori partisipasi lainnya. Dosen yang menjadi pengampu mata kuliah utama juga sudah familiar dengan beragam konteks isu di Indonesia, juga terdapat bahasan kelompok yang mengambil studi kasus acuan dari negara ini.
Di samping itu, saya sangat dimanjakan dengan pembahasan studi kasus dari berbagai negara, di mana dosen-dosen saya berkecimpung langsung di dalamnya. Mereka kebanyakan berprofesi sebagai praktisi international development dan bergabung dalam komunitas-komunitas internasional sehingga sangat paham dengan kompleksitas di lapangan. Selama ini di pekerjaan saya terkadang merasa clueless dan harus mencari tahu sendiri jawaban atas tantangan-tantangan yang saya hadapi. Saya bersyukur berada di lingkup akademis yang sangat kuat dalam praktik lapangan.
Salah satu tantangan yang saya alami adalah ada banyak bahasa-bahasa akademik yang saya harus pelajari dengan cepat di jurusan ini. Kendati sudah bekerja selama kurang lebih 7 tahun, kembali lagi untuk sekolah tentunya bukan hal yang mudah. Untungnya, kampus memberikan beragam program tambahan untuk academic writing dan fasilitasi tugas di luar jadwal perkuliahan. Saya bisa booking jadwal fasilitasi one on one untuk essay dan fasilitator yang kebanyakan merupakan mahasiswa S3.
Pengalaman terbaik adalah ketika saya mengikuti Overseas Practice Engagement ke Surakarta Indonesia bersama 31 orang teman sekelas dan 5 orang dosen serta peneliti dari UCL selama 2 minggu. Fokus penelitian ini juga sejalan dengan proposal disertasi yang saya ajukan karena saya terpilih sebagai salah satu peserta program Research Fellowship di Development Planning Unit UCL. Saat itu kami meneliti tentang partisipasi orang muda dalam pembangunan kota Surakarta dan aktivisme mereka di dunia digital. Tentunya saya sangat bangga memperkenalkan Indonesia dan berusaha untuk memberikan impresi terbaik.
Merasakan bahwa teman-teman saya belajar mengenai komunitas orang muda di Surakarta, saya sadar bahwa kegiatan ini juga memberikan energi timbal balik antara komunitas orang muda dan mahasiswa Social Development Practice. Saya merasakan apa yang kami pelajari dan rencanakan di kelas yang berada di Inggris, dapat diaplikasikan langsung sesuai dengan konteks Indonesia sebagai lokus penelitian. Saya belajar menambal kekurangan yang pernah saya lakukan dalam berpraktik dahulu saat bekerja, juga memberikan ide praktis saat menggali data penelitian berdasarkan pengalaman saya sebelumnya.
Selain itu, bekerjasama dengan orang yang beragam latar belakang, bahasa dan budaya juga menjadi pembelajaran saya baik selama berkuliah di Inggris maupun ketika berpraktik sebagai peneliti. Saya beruntung mendapatkan pengalaman berharga tersebut baik secara teori dan praktik. Sensitivitas dalam melihat konteks, menempatkan diri dan mengajak komunitas untuk berpartisipasi dan bertukar pengetahuan membutuhkan kepercayaan dan keingintahuan yang tulus. Kesadaran akan adanya beragam identitas yang terlibat dengan inisiatif yang dikerjakan bersama, serta memikirkan dari sudut pandang komunitas yang rentan terhadap isu pembangunan, menjadi standar praktik baru dalam pekerjaan saya.
Salah satu goal yang saya tulis dalam esai LPDP saya adalah bagaimana membangun komunitas dengan sensitivitas isu lokal dan memiliki wawasan sudut pandang global. Kolaborasi lintas disiplin dan juga lintas negara menjadikan komunitas yang terlibat memiliki kekayaan pengalaman. Kolaborasi keilmuan dan sinergi antara praktisi, akademisi, pemerintah juga sektor privat memberikan kesempatan tersebut. Hal ini menginspirasi saya bahwa Indonesia memiliki ruang tumbuh yang luas untuk bisa maju dengan kesadaran akan potensi sekitar dan dapat berkontribusi sebagai contoh bagi negara lain.
Dalam perenungan saya mendalami makna lika-liku perjalanan untuk bisa belajar di universitas dan jurusan yang saya minati, saya menyadari bahwa setiap kegagalan dan pencapaian yang saya alami merupakan bagian dari proses yang telah mempersiapkan saya untuk langkah berikutnya. Semua pengalaman tersebut memberi saya perspektif yang lebih luas, tidak hanya dalam konteks akademis, tetapi juga dalam melihat masalah sosial dan pembangunan secara lebih holistik.
Kini, dengan bekal pengetahuan yang lebih matang dan pengalaman lapangan yang berharga, saya siap kembali ke Indonesia untuk berkontribusi dalam pembangunan sosial yang lebih baik. Saya berharap dapat mengaplikasikan berbagai teori dan praktik yang telah saya pelajari, serta terus belajar dari masyarakat untuk menciptakan solusi yang relevan dan berkelanjutan. Dengan begitu, perjalanan saya selama ini tidak hanya menjadi sebuah pencapaian pribadi, tetapi juga sebagai upaya untuk memberikan manfaat bagi banyak orang dan menginspirasi perubahan yang lebih positif.
No comments:
Post a Comment