Thursday, May 30, 2019
Benda Merah yang Aku Tak Tahu
hatinya masih tak bergeming
juga tak tahu
apakah ia masih berfungsi
27 sudah
tak pernah ada yang mencoba
atau menaruh suka
sekedar mengutarakan rasa
saja, tak ada
27 sudah
tak paham bagaimana yang lain bisa
mengucap cinta berbusa-busa
sedangkan ia tak pernah terbiasa
mengungkapkan semua
jika pun ingin, katanya tidak boleh
ini hanya untuk yang dewasa
tak tahu salah mananya
rupaku memang tak menyala
perilaku ya gini-gini aja
lebih banyak following-nya
ketimbang followers-nya
itu pun cuma setengah K
bukan mengeluh atau mengutarakan susah
beneran, ini cuma aku yang salah
adakah yang rela memberi tahu
makna dibalik benda merah
sampai kini
masih rahasia
Maaf, Lagi Sibuk
lebih menyedihkan daripada merasa sedih
lebih pilu dari merasa sakit
lebih kosong dari badan yang tak bernyawa
disfungsi segala imajinasi
tak sejalan dengan badan,
hati,
mata juga tangan
ia pernah hidup
membelalak kelopak matanya
dengan tangan dan hati
yang tak berhenti
meski lelah
tetap disusuri satu-satu
memeluk sebuah amplop besar
berisi gagasan bermutu
kini ia hampa
hanya badan, tanpa cita
wajah tanpa senyum
tangan yang sibuk, entah sedang apa
semua organnya tak mau saling tahu
hatinya ingin berhenti,
logika dan nalar tak membolehkan
pundak memanggul beban
yang dibuat-buat
untuk apa?
untuk siapa?
Tuesday, March 19, 2019
Bodo Amat, An Indonesian Way to Give A Zero F*ck
A Subtle Art of Not Giving a F*ck: Counterintuitive Approach to Living a Good Life by Mark Manson.
First thing he explain in this book is about not to worry about positive experiences. In this life full of expectation, everyday we have been display with good pictures of people enjoying their life. It seems like everyone going to holiday, spend romantic time with their spouse, telling people how cute their child, and achieve prestigious title in their workplace. Meanwhile, we just scrolling through instagram feeds, doing nothing, and worrying about ourself. The feeling of worry itself grew bigger. We are worrying to the fact that we worry so much with people achievement. It becomes the feedback loop from hell.
In the most usual way, an ordinary one, we found happiness
Thursday, February 21, 2019
Lagom, a Swedish Way to Enjoy Every Aspect of Our Life
My sister rarely interested in any book. When we were a child, I am the only one who obsessed with Harry Potter, also the only one who excited when Eragon series come out.
Few weeks ago, she recommend this book. Excitedly, even she bought it herself from online because she could not find it anywhere in book stores. The title is Lagom: Not too little, not too much. Its a typical motivational translation book with some theory and stories. A guide to living peacefully from the Swedish culture.
I've read several motivational books, most of it about scholarship, career, and start up. Honestly I never finish them all because the content sometimes too predictable. All of the good words to motivate, but my rebel self cannot gulp all of them once. I prefer to dive into the short novels with some fantasy and tragedy.
From the book itself, I see that it will never become my life guidance but I still give it a try. Interesting but I have a hard time understand the words because it translated from english to bahasa Indonesia. Some awkward words displayed there. Maybe I should read the english version another time
The book taught us to keep everything simple, another way to feel enough. Maybe the term itself close to 'Zen' in Japan where people keep the simplicity in every aspect of their life.
Lagom describe why IKEA famous worldwide and why H&M always created basic simple shirt but become large in a market.
The idea is to keep everything effective, efficient yet functional and visually pleasing.
The definition of lagom itself complicated and flexible enough to describe every situation. From choosing your furniture and clothes, choose your way of work.
What I like about this book is to distance ourselves from every thing we do not need. To keep our house small, to refrain from buying thing every week. Less things we buy, less responsibility, and less problem. Owning a lot of things makes us miserable. We get the stress from keeping our things.
I agree with several things written in that book. Especially when the book said about knowing our capacity and not to burden ourself with things we do not need. Bravely saying no but striving to work hard on our passion.
However, what I feels lacking is about interpersonal communication. I am still wondering if swedish people cold to stranger or never had any trash talk because they like it straight and direct. I cannot judge either since I do not know any further about their culture.
Afterall, this book is interesting to read but I need to find english version to fully understand the content.
NB : I push myself to read book everyday. You can suggest me any book to review.
In my studio where I work, we open new segmen: BukaBuku, means OpenBook. We will review one or more book and invite people to discuss about an interesting book
Surprise Element
Yesterday I uninstalled apps related to musics and deleted all of the songs I've downloaded
No specific reason, except for saving up some of data package
I started to bring books everywhere or keep books in my smartphone to read
The experiences growing in me.
Books gives me something special rather than scrolling through my instagram feeds
It taught me to keep on holding what you believe eventhough there are no way you can escape from problems
I also love the suprise element in every book I've been reading. I left no expectation and keep my eye on every pages, pharagraph, and words.
It taught me to accept the idea that we never escape from everyday challenges. Lots of new perspective and somehow helping me growing up
Recently, growing up and celebrate birthday becomes sucks. There are a lot of people who expecting me as an adult, to achieve something that I myself don't know when it will happen.
Surprise element, uncertainty, zero expectation of negative or positive experiences. That is what I need to enjoy right now. To fully enjoy present, and a bit laid back about future. To love myself more, to know when I should hold back and expressing all my thought
Also, to not afraid saying that I am tired, or when I need to cry. To bravely saying what I needs to say.
Right now, right here,
Me writing my thoughts while listen to radio. Surprising myself with a list of good songs that I never heard before
23.26
Commuter line to Universitas Pancasila
Friday, February 15, 2019
It's okay to be tired
Just take a rest, put the weight off from your shoulder
Tomorrow will be fine
You will be okay
Saturday, January 12, 2019
Kota yang Bahagia
Bekerja dengan isu yang sangat dekat dengan manusia dan tempat tinggalnya selalu membuat saya bertanya-tanya. Tulisan tentang kota dan manusianya memberi saya beragam pengetahuan dan pengalaman baru. Untuk saya yang cukup apatis dengan sistem yang berjalan, masalah orang lain dan politik, membicarakan hal-hal berskala besar sebetulnya membuat saya pusing. Tapi saya semakin sadar bahwa saya bisa jadi berperan sebagai penyebab masalah sekaligus korban dari sistem tatanan kota yang saya tinggali.
Apakah kebahagiaan saya dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal saya?
Saya akhir-akhir ini mudah merasa sedih. Hal yang kecil membuat saya cukup sensitif dan berpikir kurang jernih. Hal ini membuat saya kurang semangat bekerja, mudah lelah, sulit berinovasi dan mudah takut.
Katanya wajar, saat diri sudah beranjak dewasa, menyesuaikan dengan beragam tanggung jawab bisa jadi melelahkan. Apalagi bergelut dengan middle twenty crisis. Usia yang sudah cukup untuk jadi seutuhnya mandiri dan dewasa lahir batin. Saya masih coba untuk terus beradaptasi. Tapi apa saya saja? Apa yang saya alami sehari-hari salah satunya punya andil?
Kota yang saya tinggali adalah kota yang cukup sibuk. Sejak lahir saya tinggal di kota ini. Banyak hal yang saya kira adalah hal wajar meskipun menyusahkan. Banyak hal yang membuat saya takuti di lingkungan saya. Namun ada juga hal-hal yang semakin lama semakin baik.
Satu hal yang sering orang-orang keluhkan adalah sistem transportasi. Macet dan macet, begitu ciri khasnya. Mau pilih yang tidak macet, ongkos ke stasiun atau terminal lumayan juga. Belum lagi jadwalnya yang masih tidak konsisten. Angkot yang ngetem lama. Motor yang saling kebut dan salip. Mobil yang sudah diprioritaskan dengan jalan tol, masih saja ngotot didewakan di jalan kecil. Jalan kaki dianggap sama sekali bukan pilihan.
Juga jauh jaraknya antara rumah dan tempat kerja. Harus pilih prioritas: kesehatan, keluarga, pekerjaan, waktu atau uang. Sulit untuk pilih semua. Jika mau penghasilan besar, pilih tempat kerja di tengah kota, rumah di pinggir, mengorbankan waktu bersama keluarga untuk durasi perjalanan, mengorbankan uang untuk pilihan transport yang nyaman. Di akhir hari, hanya ada lelah yang tak sudah-sudah. Berhimpitan dengan orang-orang yang sama lelahnya. Boro-boro mengobrol. Lempar senyum aja sulit. Duh.
Itu salah satu gelut yang saya alami. Awalnya saya pikir inilah takdir yang saya harus maklumi.
Apakah saya harus mengalaminya sepanjang hari?
Pindah dari kerja bisa jadi salah satu opsi. Tapi tidak ada jaminan apapun yang bisa meyakinkan saya jadi lebih bahagia. Bisa jadi faktor lainnya membuat saya sedih. Lalu apa yang bisa saya lakukan?
Definisi Kota Bahagia
Menurut buku Happy City by Charles Montgomery, bagaimana kota beroperasi menentukan kebahagiaan warganya. Pemimpinnya bisa saja punya macam-macam kebijakan berdasar pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, atau tingkat pendapatan perkapita. Kita bisa saja kaya, namun belum tentu bahagia.
Bahagia yang saya rasakan yaitu ketika saya merasa dibutuhkan dan yang saya lakukan merasa diapresiasi.
Keseimbangan kerja juga penting bagi saya. Tempat kerja yang jauh dan kerap membuat saya pulang malam terkadang membuat saya senewen. Saya jadi gampang tersinggung ketika sampai rumah. Saya yang takut marah-marah karena senewen, biasanya memutuskan untuk terus tidur tanpa lanjut komunikasi dengan anggota keluarga lain. Karena pulang malam dan lelah, saya kesiangan.
Besok paginya bangun telat, dengan senewen, karena saya jadi tidak bisa berangkat bareng ayah. Ongkos jadi makin mahal, naik pilihan yang lebih murah akibatnya makin lama saya sampai. Di kantor sudah siang. Sudah bete dan capek. Butuh waktu cukup lama untuk konsentrasi, padahal banyak yang dikerjakan. Akibatnya pulang malam lagi.
Saya belum cerita tentang masih canggungnya saya dengan tetangga.
Begitu seterusnya?
Never ending loop ini bukan hanya saya saja yang merasakan. Melihat muka-muka lelah di commuterline malam hari membuat saya bertanya, apa yang sebetulnya kami semua kejar? Kesejahteraan melalui gaji cukup? Keluarga yang bisa ditemui setiap hari? Kepuasan personal akan apresiasi di bidang pekerjaan kita?
Kota menentukan nasib kita semua. Kenapa saya harus bekerja di tempat yang jauh? Kenapa tempat kerja saya sulit dijangkau? Kenapa saya harus sampai kantor dalam waktu yang lama?
Kota dengan segala ruangnya seharusnya dapat meredakan penat dan lelah warganya. Melihat etalase toko yang cantik, melewati taman yang apik atau bersepeda di jalan pulang mungkin bisa sedikit memperbaiki suasana hati. Namun hal itu tidak saya temui.
Tempat tinggal dan kantor yang bisa dilalui dengan cepat, ongkos yang murah dan melewati wajah-wajah ramah juga berkenalan dengan salah satunya mungkin bisa membuat saya lupa sejenak akan peliknya dunia kerja. Namun tak saya rasakan.
Orang-orang yang bergerak cepat. Muka lelah yang tak ramah. Jalur pejalan kaki yang rusak membuat semua keluhan saya lengkap. Boro-boro memperhatikan kejadian menarik di sekitar. Saya terus menunduk ke bawah, takut terantuk jalan tak rata atau masuk ke lubang got. Saya merasa sendirian. Sambil bertanya kenapa saya mau mengulang kejadian ini setiap hari.
Lalu Bagaimana?
Kebahagiaan itu banyak faktornya. Namun, yang saya pelajari, mau faktornya hal yang besar atau hal-hal sederhana sama efeknya ke saya. Terkadang saya percaya kebahagiaan itu karena nasib saja. Kalau pun belum bahagia, itu katanya karena Tuhan masih kasih kita cobaan. Ternyata, kota kita tinggal juga menjadi salah satu penentu kebahagiaan.
Tapi tak semua tanggung jawab akan kota yang bahagia dipikul oleh walikota. Kita bisa berbuat apa ya? Saya juga masih banyak belajar membuat lingkungan saya bisa merasakan sedikit kebahagiaan. Tak lupa untuk diri sendiri merasa bahagia saat menjalankannya.
Kita bisa memulai dari hal yang kita suka. Kalau saya suka menari, saya ajak teman-teman di sekitar untuk belajar tari. Kalau saya suka menggambar, mungkin bisa ajak teman-teman jalan-jalan keliling kota sambil menggambar.
Apalagi ya?
Mungkin teman-teman bisa tambahkan?