Siapa terpukau laut, tak akan membangun monumen. Nenek-moyang
kita, para pelaut — generasi-generasi yang berlayar dari pelbagai
pesisir — tak meninggalkan arsitektur yang ingin mengenang dan ingin
dikenang di bandar dan pantai mereka.
Laut adalah “tujuan biru”, menurut frase Chairil Anwaryang tak terduga-duga. Tapi kita tahu, “biru”adalah warna dari segala yang jauh. Dengan kata lain, laut pada akhirnya ruang yang tanpa hektar, di mana arah dan perbatasan hanya tampak pada susunan bintang, dan ombak, yang tak terhitung,muncul dan lewat terus menerus. Seperti kekal. Saya tak pernah tahu di mana cakrawala dibatasi waktu di keluasan itu.
Mungkin itu sebabnya, dalam imajinasi, terkadang laut adalah metafor bagi pembebasan dari beban sejarah.Laut melebur segala pusaka.
Kita baca kembali sajak S. Takdir Alisyahbana, “Menuju Ke Laut”. Di sana tergambar sebuah biduk yang meninggalkan masa lalu. “Telah kutinggalkan engkau,” katanya, “teluk yang tenang tiada beriak.” Teluk itu perlindungan yang memperdaya dan mengungkung. Takdir menampiknya. Ia ingin generasinya lepas dari sana dan memasuki laut, ke dalam kehidupan yang dinamis, karena “teluk yang tenang tiada beriak” itu cuma sebuah ketentaraman warisan yang kadaluwarsa. Modernitas telah menggebrak pintu. Tradisi, adat istiadat, yang berabad-abad jadi dasar hidup yang aman itu sedang digantikan dengan sesuatu yang lebih terbuka dan mengasyikkan.
Takdir menggambarkan laut sebagai keasyikan tersendiri. Ia menyebut “ombak ria berkejar-kejaran”. Ia tak menampakkan laut sebagai ruang petualangan dan ketidak-pastian. Ia, yang percaya bahwa sastra harus mengkampanyekan hal yang baik, (baginya tak ada “seni untuk seni”), ingin agar dunia modern tampil memikat. Takdir bukan orang yang akan mengatakan bahwa modernisasi memperkenalkan manusia dengan krisis: penuh risiko, penuh peluang. Ia tak hendak mengakui bahwa laut bisa jadi kiasan bagi krisis itu. Sajaknya ditulis sebelum Revolusi 1945.
Di tahun 1940-an, Rivai Apin menulis:
Tapi di sini kita juga bisa tersesat. Laut dalam sajak-sajak itu — yang ditulis penyair perantau, bukan pelaut sesungguhnya — seakan-akan tak ada kaitannya dengan ruang yang lain, yang lebih terkait dengan masa silam: jung atau biduk, perahu atau kapal, di mana sang “aku” berada.
Kapal adalah bagian dari petualangan, tapi ia juga tak bersatu lebur dalam wilayah petualangan itu. Ia bahkan sebuah kontras. Dalam kapal itulah sebenarnya hidup bukan selamanya penjelajahan yang heroik.Dalam kapal, untuk mamakai kata-kata Chairil Anwar (dalam sajak “Kabar dari Laut”), “hidup berlangsung antara buritan dan kemudi”.
Bahkan jika laut bisa dijadikan kiasan kemerdekaan, kapal sebaliknya. “Berada dalam kapal adalah berada dalam penjara”, kata Samuel Johnson, penulis Inggris abad ke-18.
Imajinasi orang ini agak terbatas. Johnson seorang penyusun kamus yang termashur; ia bukan penyair. Tapi kata-katanya mengingatkan kita kenyataan ini: kapal juga produk dari hubungan sosial.Ada pemilik dan majikan, ada jual-beli, hierarki, dan kelasi yang terasing atau mualim yang tak bebas.
Kapal juga sesuatu yang hadir dan menandai bahwa daratan tak dapat dipungkiri. Tiap pelaut akan berlabuh. Kapal menyimpan ingatan, bukan cuma di kabin nakhoda, tapi di seluruh kehadirannya. Ada kemarin yang akan, dan perlu, dijelang kembali. Dengan monumen ataupun tidak.
Tapi apa yang perlu diingat, sebenarnya? Apa yang ingin dilupakan? Setelah bahtera kembali, para pelaut mungkin tak berniat membangun monumen tentang perjalanan mereka yang gagah berani dan bersejarah mengarungi laut. Tapi selalu ada saat manusia memuji yang agung dan memuja yang kekal dalam dirinya. Persoalannya, adakah ia mengakui bahwa ada yang tersingkir di tengah puja-puji itu. Di pesisir yang kering, kita mungkin ditinggalkan, tersingkir, atau tak sadar bahwa kita juga bisa tersingkir.
Di akhir sajak “Kabar Dari Laut” Chairil Anwar memergoki siapa saja dengan pertanyaan yang seperti sebilah pisau bedah:
sumber: http://goenawanmohamad.com/2013/11/16/laut/
Laut adalah “tujuan biru”, menurut frase Chairil Anwaryang tak terduga-duga. Tapi kita tahu, “biru”adalah warna dari segala yang jauh. Dengan kata lain, laut pada akhirnya ruang yang tanpa hektar, di mana arah dan perbatasan hanya tampak pada susunan bintang, dan ombak, yang tak terhitung,muncul dan lewat terus menerus. Seperti kekal. Saya tak pernah tahu di mana cakrawala dibatasi waktu di keluasan itu.
Mungkin itu sebabnya, dalam imajinasi, terkadang laut adalah metafor bagi pembebasan dari beban sejarah.Laut melebur segala pusaka.
Kita baca kembali sajak S. Takdir Alisyahbana, “Menuju Ke Laut”. Di sana tergambar sebuah biduk yang meninggalkan masa lalu. “Telah kutinggalkan engkau,” katanya, “teluk yang tenang tiada beriak.” Teluk itu perlindungan yang memperdaya dan mengungkung. Takdir menampiknya. Ia ingin generasinya lepas dari sana dan memasuki laut, ke dalam kehidupan yang dinamis, karena “teluk yang tenang tiada beriak” itu cuma sebuah ketentaraman warisan yang kadaluwarsa. Modernitas telah menggebrak pintu. Tradisi, adat istiadat, yang berabad-abad jadi dasar hidup yang aman itu sedang digantikan dengan sesuatu yang lebih terbuka dan mengasyikkan.
Takdir menggambarkan laut sebagai keasyikan tersendiri. Ia menyebut “ombak ria berkejar-kejaran”. Ia tak menampakkan laut sebagai ruang petualangan dan ketidak-pastian. Ia, yang percaya bahwa sastra harus mengkampanyekan hal yang baik, (baginya tak ada “seni untuk seni”), ingin agar dunia modern tampil memikat. Takdir bukan orang yang akan mengatakan bahwa modernisasi memperkenalkan manusia dengan krisis: penuh risiko, penuh peluang. Ia tak hendak mengakui bahwa laut bisa jadi kiasan bagi krisis itu. Sajaknya ditulis sebelum Revolusi 1945.
Di tahun 1940-an, Rivai Apin menulis:
Tiada tahanBerbeda dengan imaji yang dipilih Takdir, dalam sajak Rivai laut adalah avontur yang menantang, sebuah rantau yang riskan. “Aku” dalam sajak ini siap menghadapi, bahkan mencari,”taufan gila.” Yang kita baca adalah sebuah manifesto pembangkangan terhadap sekitar, terhadapmasyarakat yang seperti fosil.”Batu semua!”, hardik Rivai. Ada kejengkelan yang tak kita temukan dalam sajak teratur S. Takdir Alisyahbana. Bagi Rivai, apa yang kukuh, keras, beku, tak hanya harus ditinggalkan, tapi juga dimaki.
ke laut kembali, mengembara
cukup asal ada bintang di langit
Tapi di sini kita juga bisa tersesat. Laut dalam sajak-sajak itu — yang ditulis penyair perantau, bukan pelaut sesungguhnya — seakan-akan tak ada kaitannya dengan ruang yang lain, yang lebih terkait dengan masa silam: jung atau biduk, perahu atau kapal, di mana sang “aku” berada.
Kapal adalah bagian dari petualangan, tapi ia juga tak bersatu lebur dalam wilayah petualangan itu. Ia bahkan sebuah kontras. Dalam kapal itulah sebenarnya hidup bukan selamanya penjelajahan yang heroik.Dalam kapal, untuk mamakai kata-kata Chairil Anwar (dalam sajak “Kabar dari Laut”), “hidup berlangsung antara buritan dan kemudi”.
Bahkan jika laut bisa dijadikan kiasan kemerdekaan, kapal sebaliknya. “Berada dalam kapal adalah berada dalam penjara”, kata Samuel Johnson, penulis Inggris abad ke-18.
Imajinasi orang ini agak terbatas. Johnson seorang penyusun kamus yang termashur; ia bukan penyair. Tapi kata-katanya mengingatkan kita kenyataan ini: kapal juga produk dari hubungan sosial.Ada pemilik dan majikan, ada jual-beli, hierarki, dan kelasi yang terasing atau mualim yang tak bebas.
Kapal juga sesuatu yang hadir dan menandai bahwa daratan tak dapat dipungkiri. Tiap pelaut akan berlabuh. Kapal menyimpan ingatan, bukan cuma di kabin nakhoda, tapi di seluruh kehadirannya. Ada kemarin yang akan, dan perlu, dijelang kembali. Dengan monumen ataupun tidak.
Tapi apa yang perlu diingat, sebenarnya? Apa yang ingin dilupakan? Setelah bahtera kembali, para pelaut mungkin tak berniat membangun monumen tentang perjalanan mereka yang gagah berani dan bersejarah mengarungi laut. Tapi selalu ada saat manusia memuji yang agung dan memuja yang kekal dalam dirinya. Persoalannya, adakah ia mengakui bahwa ada yang tersingkir di tengah puja-puji itu. Di pesisir yang kering, kita mungkin ditinggalkan, tersingkir, atau tak sadar bahwa kita juga bisa tersingkir.
Di akhir sajak “Kabar Dari Laut” Chairil Anwar memergoki siapa saja dengan pertanyaan yang seperti sebilah pisau bedah:
Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,Goenawan Mohamad
Atau di antara mereka juga terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi sangkar?
sumber: http://goenawanmohamad.com/2013/11/16/laut/
No comments:
Post a Comment