To Belong adalah sebuah proyek antara dua kebudayaan yang
berbeda, yaitu Jepang dan Indonesia dalam kemasan seni tari. Pertunjukkan ini
menampilkan paduan dua sudut yang berbeda untuk menyampaikan sebuah pesan
melalui penyatuan metode yang sama. To Belong menceritakan tentang tubuh dan roh, serta
bagaimana kedua bagian itu saling mengisi dan memisahkan diri. To Belong
seketika membuka pikiran para penikmatnya bahwa pertunjukkan tari tak selamanya
hanya gerak dan tubuh, namun bagaimana tarian itu bercerita tahap demi tahap
penceritaan namun dikemas dalam satu kesatuan yang unik. Apalagi jika dilihat
dari pembawaan keempat penarinya yang memiliki karakter gerakan yang berbeda,
yaitu tarian Jawa yang luwes serta patahan-patahan gerakan Jepang yang cepat.
‘To Belong’ dikemas dengan paduan serasi antara sastra, lisan, lagu, wayang,
silat. Tidak melulu tradisional, didalamnya terdapat narasi dengan pembawaan
modern, tari kontemporer serta penyatuan berbagai ‘mix media’ yang menjadi media ekspresi dalam karya seorang
koreografer asal Jepang, Akiko Kitamura
Pada awalnya, saya mengira untuk dapat menikmati karya ini,
saya hanya dapat duduk terpaku dalam diam untuk dapat memahami paduan dan
gerakan yang dihasilkan. Namun ternyata pertunjukkan ini tak sekaku yang saya
kira. Pada saat lampu bangku penonton dimatikan, suara-suara yang dimainkan
mampu menyeret pikiran penonton ke dunia antah berantah dalam nuansa alam yang
pekat. Hanya terdengar suara-suara angin dan gelembung air yang sangat keras
secara terus menerus. Yang dapat kita dengarkan hanyalah suara itu, tak
terdengar suara lainnya. Setelah musik alam melepas alam bawah sadar kita dari
kenyataan, ia menuntun para penonton menuju cerita. Permainan video yang
dilancarkan pada 4 layar putih yang saling menindih pun dimulai.
Empat layar putih itu
mulai terisi dengan sesosok animasi seorang
Slamet Gundono. Melalui permainan film, transisi mix media yang
digunakan sangat apik dan rapi sehingga secara halus keempat penari seolah-olah
muncul dari film itu. Di depan layar, telah tersedia 4 buah kursi tempat keempat
penari duduk. Mereka telah muncul, namun masing-masing masih terduduk diam.
Perhatian penonton lalu teralih kembali ke layar, tempat cerita Gundono
mengalir.
Setelah film selesai, masing-masing penari lalu mengatakan
pendapat mereka masing-masing mengenai Gundono dan ibunya, Soindep. Pendapat
yang disajikan secara naratif dikatakan dengan
santai dan sesekali mengundang respon penonton dengan tawa atau sekadar
berkata ‘Oh’. Namun mereka sepakat dengan yang mereka dapatkan, yaitu Gundono
bercerita tentang cinta. Cinta itu tak terputuskan oleh raga dan jiwa yang
terpisah. Lalu sambil mengutarakan pendapat masing-masing, mereka mengaitkannya
dengan pengalaman mereka dan sesekali menggerakkan tubuh. Pada awalnya gerakan
tubuh mereka seragam dengan 'timing' yang sama. Namun tak berapa lama, mereka
mulai berdebat tentang interpretasi masing-masing. Hal itu memecah keseriusan
penonton dan ketika itulah kami mulai memahami bahwa kedua budaya itu memiliki
caranya sendiri untuk menggambarkan pemikirannya.
Lalu keempat penari perlahan-lahan melepas diri mereka dari
kursi tempat mereka berdiam sejak awal. Gerakan itu ada yang cepat, ada pula
yang lambat. Masing-masing budaya, Jawa yang lemah lembut, serta Jepang yang
gesit cepat, bertolak belakang dan memisahkan diri. Tak berapa lama, gerakan
itu mulai berasimilasi dan keempat penari masing-masing terkoneksi dengan
gerakan yang berbeda. Gerakan itu seperti daun yang lepas dari dahannya, turun
perlahan. Lalu ketika mengenai suatu permukaan, gerakan kembali naik dengan
cepat. Gerakan yang cepat lalu pelan itu juga saling terpilin satu sama lain,
sehingga terlihat keempat penari berasal dari satu tubuh yang menjalankan
fungsinya masing-masing. Gerakan itu terus berlanjut disertai efek yang
berbeda-beda. Terkadang gelap, terkadang dihujani spotlight, terkadang bersinar
warna-warni, terkadang hanya bayangan mereka yang terlihat bergerak. Nuansa
yang berbeda-beda itu seperti gerakan alam yang natural.
Tahap selanjutnya adalah ketika mereka menceritakan pengalaman masing-masing, seperti yang Gundono lakukan di awal pertunjukkan. Keempat pengalaman itu seperti mendalami masing-masing
pengalaman intim yang mereka alami. Pengalaman intim itu tak cukup hanya
diceritakan secara verbal. Pengalaman intim itu memang sangat sulit dijelaskan
dengan kata-kata karena hal itulah yang membekas dalam diri manusia. Menurut
buku ‘Intimate Experience of Place’ karya Yi Fu Tuan, pengalaman intim adalah
pengalaman dalam alam bawah sadar manusia, yang mungkin manusia tidak
menyadarinya hal itu berharga, sampai suatu ketika rutinitas itu menghilang
tiba-tiba. Hal itu mungkin menjadi titik balik pembelajaran manusia, bisa dalam
hal positif maupun negatif. Bisa pula pengalaman intim itu berupa suatu kenangan manis, maupun pahit.
Pengalaman intim yang didalami itu diekspresikan dalam gerakan yang sarat akan makna.
Ekspresi kesedihan mendalam yang dirasakan Ruri Mito dan Akito mungkin tak
dapat ia jabarkan secara verbal. Namun penyatuan antara pikiran dan tubuh serta
kekuatan saat penari mengalami ‘trance’, dapat melampaui perasaannya ke
penonton sehingga penonton pun ikut mengalami simpati. Begitu pula dengan
cerita Miroto dan Rianto. Mereka mungkin tidak bercerita tentang kisah sedih,
namun pengalaman itu sangat membekas dan ingin mereka bagikan ke penonton yang
menikmati karyanya. Melalui gerakan Miroto, kita dapat merasakan hubungan yang
mendalam antara ia dan sang Ibu. Melalui gerakan gemulai Rianto, kita dapat
memahami dasar motivasi Rianto hingga menjadi penari profesional seperti
sekarang.
Gerakan
berikutnya adalah mereka berkolaborasi dua orang-dua orang secara bergantian.
Masing-masing tubuh saling tertarik, saling lepas. Memeluk, melempar, kemudian
lekat kembali. Kedua tubuh yang berpasangan pun muncul secara bergantian, kali
ini seperti duel silat yang lincah. Gerakan mereka terjatuh, bangun, dan
terangkat, seperti lupa jika badan memiliki massa dan dapat merasakan sakit. Di
tahap ini, mereka memberi kebebasan bagi tubuh untuk bereksperimen, melampaui
daya tahan tubuh mereka. Gerakan itu semakin lama semakin menyatu dan mereka
berempat kembali bersatu padu menutup akhir cerita.
Pertunjukkan
ini sangat kompleks mulai dari penggarapan media yang bermacam-macam mulai dari
suara, film, layar, tubuh, kursi, lampu, dan sebagainya. Penyatuan antara kedua
kebudayaan dalam gerak kontemporer yang padu tidak memaksa untuk disatukan,
tapi tetap melebur dengan serasi. Penyatuan antar generasi tua dan muda, yaitu
Miroto dan Akito yang berusia 50an dan 40an serta Ruri Mito dan Rianto yang
berada pada awal 30an mereka bukanlah hal yang terlihat nyata. Mereka juga
tetap menjadi diri sendiri sehingga seluruh gerakan yang mereka hasilkan murni
berasal dari hati, memori, pengalaman intim yang mereka rasakan. Karya ini tak
semata-mata hanya dapat dimengerti oleh kedua negara bersangkutan, Indonesia
dan jepang, namun juga dapat dimengerti secara general oleh berbagai bangsa.
sumber :
dokumentasi by : Facebook/ Salihara