Monday, September 24, 2018

Menari dan Komunitas



Kegiatan menari membuka saya untuk menemukan hal-hal baru. Tak hanya tentang tarian itu sendiri, tapi juga hubungan saya ke tetangga saya, ke orang tua siswa, ke pertemanan lama, juga hubungan ke diri saya sendiri.

Bersyukur juga punya lingkungan kerja yang mendukung dan membiarkan saya eksplorasi macem-macem. Sampai-sampai teman-teman saya bingung. "Kamu kerjanya apa siih?" soalnya jobdesknya agak absurd dan menclok kesana kemari.

Kali ini, saya dikenalin ke Kampung Kali Apuran lewat Pak Adi dalam rangka program Kurator Kampung oleh Dewan Kesenian Jakarta. Niatnya bantuin aja untuk koordinasi kegiatan 17an kampung. Waktunya cukup cepet, cuma 2 minggu untuk hajatan segede gabungan 2 RT. Karena sehari-hari mainnya sama bocah jadi bantuin buat urus anak-anak juga deh. Tujuannya biar semua segmen usia ada kegiatan dan

Katanya kampung ini tiap kali ada rapat Community Action Plan selalu hanya ada 5 -10 orang. Untuk bikin inisiatif pun agak bingung mau dari mana mulainya. Kegiatan 17an biasanya pun ya sebatas kegiatan wajib tahunan. Kegiatan ini mau mengajak semua warganya ikut serta dan gabung ke Piknik Kampung Merdeka.

Awalnya bingung banget, karena ga familiar sama tempatnya dan agak susah ngeluarin anak-anak buat diajak ngobrol. Mereka awalnya pemalu (saya juga hahaha) dan enggak tahu mau minta dikenalin sama siapa. Sementara itu, yg ibu-ibu udah kumpul, bapak-bapak juga, remajanya juga. Hemm...

Lalu ngelihat yang namanya Mayya, anak Pak Teguh. Dia kelihatannya sudah lebih dewasa dari anak-anak lain. Tadinya minta Mayya kumpulin temen-temennya yang bocah. Tapi Mayya pengennya kumpul sama yg remaja. Wak bingung lagi. Tapi lanjutannya dia pengen mengadakan suatu kegiatan juga. Akhirnya dia berhasil dibujuk buat kumpulin anak-anak dan mulailah kita rapat bersama.

Mereka pengennya banyak banget. Tiap orang punya mainan favorit, mau ditandingin. Juga mau bikin drama, tari, nasyid, lomba gambar dan lainnya. Sebetulnya hal ini juga menunjukkan mereka pede akan banyak hal. Ditampung dulu aja satu-satu.

Akhirnya ada kegiatan yang mereka eliminasi dan mereka pilih. Menari dan Nasyid salah duanya. Tariannya pun mereka pilih sendiri. "Maunya jaranan aja, Kak". Alasannya? "Mau pakai kuda lumping dan aksi akrobat angkat-angkat temennya. Hahahaa..."

Yaudah gak apa. Ikutin aja dulu. Untung udah pernah ngajar anak kelas 2 SD segambreng nari Jaranan.

Awal mulai latihan rusuh banget. Banyak anak-anak kecil yang ngikut rusuh. Bukannya mau latihan tapi heboh karena jarang atau malah gak pernah mereka diberi ruang untuk sama-sama belajar nari. Biasanya cuma ada ibu-ibu ikutan senam, anak-anak cuma lihat.

Karena kerusuhan ini dibikinlah dua grup tari. Yang kecil nari Ondel-Ondel, yang agak besar nari Jaranan. Jadinya latihan dilanjutkan di lain hari. Waktu juga sudah malam dan rapat warga mau segera dimulai.

Akhirnya kalau hitung waktu latihan dan perencanaan, saya cuma bisa meluangkan waktu 1 hari full untuk ngajar dua tarian.
Maboq
Engga dengs. Lemes aja hhahaha...

Nah untung bawa adek saya si Tika untuk urus yang Ondel-Ondel. Berhasil dikerjakan dari jam 9 sampai jam 12 sudah hapal.
Nah yang jaranan juga lumayan. Meskipun banyak distraksinya tapi seru juga. Banyak yang mau ikutan. Ada yang tadinya malu-malu tapi jadi berani dan cerewet minta ampun.



Saat latihan, ruang di kampung itu jadi berbeda. Suara musiknya mengundang warga lain untuk nonton anak-anak latihan. Halaman masjid yang tadinya steril, diperbolehkan oleh marbot masjidnya dipakai jadi ruang ekspresi anak. Terlebih lagi ketika memikirkan kostum. Karena mereka butuh kain, maka ada juga tetangga-tetangga yang ikut keluar pinjemin kain yang dipunya dan ikutan nonton juga. Warga lain juga ada yang menawarkan untuk meminjami sound system juga colokan listrik. Juga ada remaja-remaja putri yang terinspirasi pengen tampil nari juga. Ada bapak-bapak maupun ibu-ibu yang bernostalgia bahwa mereka pernah latihan nari ketika mereka muda.

Ramai, seru, juga guyub.

Lebih heboh lagi ketika menjelang pentas. Ibu-ibu dari anak-anak satu-satu menanyakan perihal kostum dan detailnya. Bahkan menjelang detik-detik tampil, ibu-ibu orang tua anak-anak mengeluarkan macam-macam peralatan make up meskipun saya juga menjanjikan untuk merias anak-anak mereka.

Ini yang saya juga pelan-pelan pahami selama belajar menari. Menari itu bukan hanya hasil beberapa menit di atas panggung. Namun juga bagaimana proses belajar tari itu menghasilkan beragam macam hal. Dalam masyarakat kuno kita, tarian punya banyak fungsi. Alat solidaritas, perayaan, tradisi, hiburan. Dalam hal ini, anak-anak dan orang tua mereka belajar tentang bersabar, toleransi, keguyuban, dan tentunya kreativitas. Satu hal yang saya ikut sadari, keputusan anak-anak dipegang tak hanya orang tua mereka, namun orang dewasa lain di lingkungannya. Banyak yang ikut membantu selama proses ini membuktikan hal itu.

Jadi semangat lagi deh


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...