Thursday, September 14, 2017
Saturday, September 2, 2017
Menarilah... Denganku...
Di depan teras rumah
Fana merah jambu,
Ku berdua
Moment-moment tak palsu
Air tuhan turun,
Aromamu
Tersaluran aliran syaraf buntu
Martin tua media pembuka
Berdansa sore hariku
Sejiwa alam dan duniamu
Melebur sifat kaku-ku
Hal bodoh jadi lucu
Obrolan tak perlu,
Kala itu
Tersalurkan aliran syaraf buntu
Martin tua media pembuka
Berdansa sore hariku
Sejiwa alam dan duniamu
Melebur sifat kaku-ku
Rasanya tak cukup waktu
Terlalu cepat berlalu
Soreku nyaman denganmu
Menarilah, Menarilah
Menarilah, Denganku
Genggam tangan coklatku
Berputar-putar denganku
Menarilah, Menarilah...
Menarilah, Menarilah
Menarilah,
Denganku....
credit: @fourtwntymusic
Fana merah jambu,
Ku berdua
Moment-moment tak palsu
Air tuhan turun,
Aromamu
Tersaluran aliran syaraf buntu
Martin tua media pembuka
Berdansa sore hariku
Sejiwa alam dan duniamu
Melebur sifat kaku-ku
Hal bodoh jadi lucu
Obrolan tak perlu,
Kala itu
Tersalurkan aliran syaraf buntu
Martin tua media pembuka
Berdansa sore hariku
Sejiwa alam dan duniamu
Melebur sifat kaku-ku
Rasanya tak cukup waktu
Terlalu cepat berlalu
Soreku nyaman denganmu
Menarilah, Menarilah
Menarilah, Denganku
Genggam tangan coklatku
Berputar-putar denganku
Menarilah, Menarilah...
Menarilah, Menarilah
Menarilah,
Denganku....
credit: @fourtwntymusic
Labels:
Music,
Songs and Lyrics
Wednesday, August 9, 2017
Crossing Path
Ada kalanya ketika kita sedang dihadapkan kepada beragam pilihan, kita selalu bertanya, apa yang akan kita temui jika kita memilih A? Atau apa yang tidak akan saya temukan jika saya pilih untuk melakukan B?
Hal seperti itu selalu muncul, baik kita sadari maupun tidak. Namun, ada satu hal yang saya selalu ingat.
Ketika lulus dari SMA, saya dihadapkan pada 2 pilihan yang menurut saya sangat sulit: diterima di 2 kampus negeri dengan jurusan yang berbeda pula. Apakah saya akan melewatkan sesuatu jika saya tidak pilih A? Apakah saya akan melewatkan kesempatan merantau jika saya pilih kampus B? Apa saya akan mendapat pekerjaan yang lebih enak jika saya belajar di A?
Namun, kadang satu celetukan sahabat membuat saya sadar sejenak:
"Kalo lo gak pilih ni kampus, lo ga bakal ketemu gue"
Well, saya masih bloon saat itu. Kenapa harus ketemu sama kamu? Apa pengaruhnya buat hidup saya?
Namun, sejak saat itu, kita selalu bertemu dengan orang lain yang baru kita kenal. Orang tersebut bisa jadi seseorang yang sangat penting bagi kita nanti, atau hanya tempat berbagi sejenak, atau ternyata memiliki hubungan dengan teman kita yang lain, bisa jadi pula mengantar kita menemukan hal-hal baru yang tak pernah terpikir sebelumnya.
Hingga suatu saat, ketika sedang haha-hihi dengan teman-teman akrab, kita selalu menerawang ke masa lalu: "Kok bisa ya gue jadi deket sama lo? Awalnya gimana sih?" tentu ngomongnya sambil cekakak-cekikik karena kejadiannya juga absurd dan kadang terlampau bego.
Ada satu rangkaian contoh juga yang baru saya alami dan luar biasa hubungannya. Well, sejak saya pulang dari summer-schoolan di Belanda, saya merasa seketika semesta mendukung! Hal ini tentu mulai dari teman di FB (yang saya kenal dari kegiatan di tempat kerja) membagikan online course gratisan dari kampus terbaik dunia, lalu saya ikutan, dan mereka mengumumkan kalau akan membuka summer school. Lalu, ternyata temen kerja saya, si Vinda, juga sekolah di sana. Lalu sempat galau karena setelah apply dan diterima, saya belum dapat tempat tinggal yang cocok. Teman dekat saya si Ssu kasih tau kalau temannya si Amel juga kuliah di sana. Ternyata, Ssuu pernah minta bikinin gambar ke saya untuk temannya dan ternyata itu Amel! Ternyata juga si Nisa, sohib sekosannya Pia (riorita sesama scholarship hunter), sekolah di Belanda dan pacarnya tinggal di kota yang akan saya kunjungi. Ternyata eh ternyataa Amel, Vinda, serta pacarnya Nisa tinggal sekomplek gedung! Terus saya juga terpaksa berangkat sendiri dan kesana sendirian. Di hari pertama saya tiba, lalu berangkatlah saya ke pasar dan ketemu Safira, classmate summer school dari Kanada yang juga seorang muslim. Safira ini tinggal di kamar temannya yang namanya juga Lia. Setelah itu, kita keliling lagi untuk lihat-lihat Markt di Centruum, eh ketemu Ahtar,anak S2 Landscape TU Delft pas lagi lihat-lihat lapak buku arsitektur. Ternyata Ahtar ini kenal baik dengan Bu Lily, pernah di FCL yang sekarang posisinya di ganti sama Dio, juga anak Arcasia Jamboree 2012. Setelah itu ketemu juga dengan kak Ayu, lalu ketemu Kak Tuty, yang ternyata ngerjain tugas bareng pacarnya Nisa, juga ketemu Phillip yang pernah satu pesawat sama Jokowi, terus beneran ketemu Nisa di hari terakhir, dll etc~~
Well, serangkaian kejadian itu bukan kebetulan semata kan?
Ibaratnya, semua orang sama-sama mendayung perahu kecil di beragam aliran kanal. Ketika alirannya bercabang, kita akan disuruh memilih, akan ke arah manakah alirannya? Kadang arusnya berbatu dan sulit dilalui, namun ada orang lain yang mau menghampiri perahu kita hanya untuk mendorong kita melewati bebatuan itu. Ada pula yang hanya berpapasan, melempar senyum sehingga kita merasa tak sendirian. Ada pula saatnya perahu kita dan banyak orang lain berkumpul, lalu bersama terhibur dengan turbulence nya.
Ah, sekarang mungkin saya mulai paham. Dunia terasa kecil hanya jika kita membuka diri untuk mengenal orang lain, menemukan hal-hal baru, dan menghapus beragam prasangka. Mungkin kamu akan berkata: "Itu kan takdir namanya." Tapi, saya tak akan merasakan takdir itu jika saya tidak memilih kan? Atau apa yang akan terjadi jika saya tidak berusaha untuk mencari tahu apa pilihan terbaik untuk saya?
Well, saya berjanji, jika saya memutuskan untuk memilih, saya akan berusaha membuka pintu untuk beragam peluang itu, sehingga saya akan tahu apakah takdir benar-benar mendukung saya melewati pilihan itu atau tidak.
Nasib sudah tertulis, tapi masa depan kan masih misteri :)
Hal seperti itu selalu muncul, baik kita sadari maupun tidak. Namun, ada satu hal yang saya selalu ingat.
Ketika lulus dari SMA, saya dihadapkan pada 2 pilihan yang menurut saya sangat sulit: diterima di 2 kampus negeri dengan jurusan yang berbeda pula. Apakah saya akan melewatkan sesuatu jika saya tidak pilih A? Apakah saya akan melewatkan kesempatan merantau jika saya pilih kampus B? Apa saya akan mendapat pekerjaan yang lebih enak jika saya belajar di A?
Namun, kadang satu celetukan sahabat membuat saya sadar sejenak:
"Kalo lo gak pilih ni kampus, lo ga bakal ketemu gue"
Well, saya masih bloon saat itu. Kenapa harus ketemu sama kamu? Apa pengaruhnya buat hidup saya?
Namun, sejak saat itu, kita selalu bertemu dengan orang lain yang baru kita kenal. Orang tersebut bisa jadi seseorang yang sangat penting bagi kita nanti, atau hanya tempat berbagi sejenak, atau ternyata memiliki hubungan dengan teman kita yang lain, bisa jadi pula mengantar kita menemukan hal-hal baru yang tak pernah terpikir sebelumnya.
Hingga suatu saat, ketika sedang haha-hihi dengan teman-teman akrab, kita selalu menerawang ke masa lalu: "Kok bisa ya gue jadi deket sama lo? Awalnya gimana sih?" tentu ngomongnya sambil cekakak-cekikik karena kejadiannya juga absurd dan kadang terlampau bego.
Ada satu rangkaian contoh juga yang baru saya alami dan luar biasa hubungannya. Well, sejak saya pulang dari summer-schoolan di Belanda, saya merasa seketika semesta mendukung! Hal ini tentu mulai dari teman di FB (yang saya kenal dari kegiatan di tempat kerja) membagikan online course gratisan dari kampus terbaik dunia, lalu saya ikutan, dan mereka mengumumkan kalau akan membuka summer school. Lalu, ternyata temen kerja saya, si Vinda, juga sekolah di sana. Lalu sempat galau karena setelah apply dan diterima, saya belum dapat tempat tinggal yang cocok. Teman dekat saya si Ssu kasih tau kalau temannya si Amel juga kuliah di sana. Ternyata, Ssuu pernah minta bikinin gambar ke saya untuk temannya dan ternyata itu Amel! Ternyata juga si Nisa, sohib sekosannya Pia (riorita sesama scholarship hunter), sekolah di Belanda dan pacarnya tinggal di kota yang akan saya kunjungi. Ternyata eh ternyataa Amel, Vinda, serta pacarnya Nisa tinggal sekomplek gedung! Terus saya juga terpaksa berangkat sendiri dan kesana sendirian. Di hari pertama saya tiba, lalu berangkatlah saya ke pasar dan ketemu Safira, classmate summer school dari Kanada yang juga seorang muslim. Safira ini tinggal di kamar temannya yang namanya juga Lia. Setelah itu, kita keliling lagi untuk lihat-lihat Markt di Centruum, eh ketemu Ahtar,anak S2 Landscape TU Delft pas lagi lihat-lihat lapak buku arsitektur. Ternyata Ahtar ini kenal baik dengan Bu Lily, pernah di FCL yang sekarang posisinya di ganti sama Dio, juga anak Arcasia Jamboree 2012. Setelah itu ketemu juga dengan kak Ayu, lalu ketemu Kak Tuty, yang ternyata ngerjain tugas bareng pacarnya Nisa, juga ketemu Phillip yang pernah satu pesawat sama Jokowi, terus beneran ketemu Nisa di hari terakhir, dll etc~~
Well, serangkaian kejadian itu bukan kebetulan semata kan?
Ibaratnya, semua orang sama-sama mendayung perahu kecil di beragam aliran kanal. Ketika alirannya bercabang, kita akan disuruh memilih, akan ke arah manakah alirannya? Kadang arusnya berbatu dan sulit dilalui, namun ada orang lain yang mau menghampiri perahu kita hanya untuk mendorong kita melewati bebatuan itu. Ada pula yang hanya berpapasan, melempar senyum sehingga kita merasa tak sendirian. Ada pula saatnya perahu kita dan banyak orang lain berkumpul, lalu bersama terhibur dengan turbulence nya.
Ah, sekarang mungkin saya mulai paham. Dunia terasa kecil hanya jika kita membuka diri untuk mengenal orang lain, menemukan hal-hal baru, dan menghapus beragam prasangka. Mungkin kamu akan berkata: "Itu kan takdir namanya." Tapi, saya tak akan merasakan takdir itu jika saya tidak memilih kan? Atau apa yang akan terjadi jika saya tidak berusaha untuk mencari tahu apa pilihan terbaik untuk saya?
Well, saya berjanji, jika saya memutuskan untuk memilih, saya akan berusaha membuka pintu untuk beragam peluang itu, sehingga saya akan tahu apakah takdir benar-benar mendukung saya melewati pilihan itu atau tidak.
Nasib sudah tertulis, tapi masa depan kan masih misteri :)
Monday, July 10, 2017
Being Success or Failed
It is time for me to letting my Chevening scholarship gone, as I don't get any reply from my university about my uncoditional LOA. I feel really sad, but deep in my heart I've been blame myself for my pessimistic side.
Chevening is my first scholarship which I'm applied to. I wrote down my essay in 5 hours, uploaded it in the last day. Only miracle letting me get my interview invitation, even get my conditional award. Until one of my worry happened. Ready or not, I have to apply for the university which have a really high standard. Once again, I'm not that confidence. If not because of the Chevening requirement, I won't get my courage to spend more IDR 1 million to get my application done.
Until now, two more days, or else my scholarship will be handed to the reserved awardee. I promised myself I won't cry. 1 month feels like longer than a year. Two days will be my nerve-wrecking moment. Meanwhile, I should be grateful enough I'm preparing for my summer school at TU Delft, NL.
My pray everyday, only God know the best. I've tried, eventhough I know I'm not trying that hard. If my decision can affect and be a positive change even to my surroundings, then God know it will be my new learning proccess. If its only have benefit for myself, I hope I won't get it.
I'm writing this as my healing proccess, as I know I'm growing up writing my everyday moments. I won't forget this time of my life, since it be my important point in my life. Should I get my master degree? Should I lost it to earning more money?
Atleast, I have tried, than dreaming about it all day not doing anything.
Chevening is my first scholarship which I'm applied to. I wrote down my essay in 5 hours, uploaded it in the last day. Only miracle letting me get my interview invitation, even get my conditional award. Until one of my worry happened. Ready or not, I have to apply for the university which have a really high standard. Once again, I'm not that confidence. If not because of the Chevening requirement, I won't get my courage to spend more IDR 1 million to get my application done.
Until now, two more days, or else my scholarship will be handed to the reserved awardee. I promised myself I won't cry. 1 month feels like longer than a year. Two days will be my nerve-wrecking moment. Meanwhile, I should be grateful enough I'm preparing for my summer school at TU Delft, NL.
My pray everyday, only God know the best. I've tried, eventhough I know I'm not trying that hard. If my decision can affect and be a positive change even to my surroundings, then God know it will be my new learning proccess. If its only have benefit for myself, I hope I won't get it.
I'm writing this as my healing proccess, as I know I'm growing up writing my everyday moments. I won't forget this time of my life, since it be my important point in my life. Should I get my master degree? Should I lost it to earning more money?
Atleast, I have tried, than dreaming about it all day not doing anything.
Wednesday, July 5, 2017
Hope for Miracle
Waiting for miracle is the best feeling in the world...
You will be nervous from time to time,
waiting something good happen to you.
When the time is coming,
You can't imagine how you really grateful for the moment
Only in the second, you will forget the hardship you've been through
You will make it as the sweet fruit for all of your sacrifice
Every moments, whether its bad or good, should be cherish all the time.
And keep believing we will have a beautiful result in the end of our time
That's how we hold on for our life and after
Keep believing, Lia
You will know when the time is right
You will be nervous from time to time,
waiting something good happen to you.
When the time is coming,
You can't imagine how you really grateful for the moment
Only in the second, you will forget the hardship you've been through
You will make it as the sweet fruit for all of your sacrifice
Every moments, whether its bad or good, should be cherish all the time.
And keep believing we will have a beautiful result in the end of our time
That's how we hold on for our life and after
Keep believing, Lia
You will know when the time is right
Saturday, May 27, 2017
Kartu Ucapan Untuk Keluarga
If you ask me what is the most successful point of my life, It just happened yesterday. Seri Seni, a community I've been organizing for a half year, did something great. We held a workshop about how to make a greeting card for their love ones. The idea of activity itself come from children, but the concept inspired by a book: "Thinking Hand" by Juhani Pallasmaa (Thanks to Pia :p). Hand as our precious tool of our body, conveys our mental image, our fondest hope and memory, into muscular activity, then processing the message to the outside of our mind. As a result, the outcome could be understood by the people who shares the same experience. It is great by how our mind and body intertwined in the process of conveying our feelings. That is why, there are no things that could replace the sincerity of drawings by hand.
They were tracing their own hand on a piece of paper, making it a 'love' shape in the middle of it so that they can write a message on it. The outcome is pretty and they were really ambitious of what they create. Even when the time is up, they are still busy decorating their greeting card.
The activity is done, and they gave it to the person they love the most. After posting some of pictures to their whatsapp group, one of their mother said that it made her touched by the message. Well, the message drawn by hand had conveyed and even touched their heart. I feel like I'm doing good today and it can fuel my energy for a whole week.
Monday, May 8, 2017
Tahap Partisipasi Warga dalam Kegiatan LabTanya
Pada saat perkuliahan, saya berlatar belakang interior dan jarang
membahas tentang konteks kota. Kota, menjadi ruang bermain yang sangat besar di
kepala saya. Interaksi manusia dengan ruang kota dan sebab akibat yang
melatarbelakanginya menjadi hal yang benar-benar baru saya pelajari.
Beberapa proyek LabTanya yang berhubungan dengan kota pun sempat
saya ikuti. Tantangan setiap kegiatan tentu berbeda, namun ada beberapa hal
yang bisa saya ambil hikmahnya. Kegiatan tersebut antara lain A[park]ment,
CaPing Tanpa Sampah, dan SERABI. Lingkup masing-masing proyek bervariasi. Jika
A[park]ment menyasar komuter yang bekerja di pusat kota dan tinggal di
suburban, CaPing Tanpa Sampah fokus hanya di satu lingkup rukun warga.,
sedangkan SERABI bermain dengan konteks kota suburban yaitu: Bintaro
Ketiga proyek ini memiliki tantangan dengan metode partisipasi.
Jika biasanya arsitek mendesain dengan pertimbangan pemikirannya dan klien
ditambah dengan penjajakan seperlunya, maka dalam metode partisipasi ini tentu
harus lebih sabar untuk belajar. Belajar apa? Belajar untuk menahan ego dan
mengerti bahwa ada hal yang bisa didapat kalau kita benar-benar sabar. Menjadi
warga, bukan arsitek. Menjadi teman, bukan sebagai arsitek. Banyak hal yang
bisa kita pelajari dari warga. Menahan diri untuk tidak terjebak dalam
anggapan-anggapan praktis. Membuka mata lebih lebar untuk bisa menemukan
sesuatu. Membuka diri dan hati, membuat sudut pandang baru dari beragam sisi.
Juga belajar untuk melihat peluang, melihat kebaikan atas sesuatu, bukan melulu
fokus terhadap masalah yang harus diselesaikan. Proyek-proyek ini tentu bukan
produk langsung jadi untuk bisa diterima. Justru dari penolakan-penolakan saya
belajar. Memulai metode partisipasi dari awal memang sulit. Namun dari
kesulitan justru kita menemukan pembelajaran baru, bukan sebagai kegagalan.
Partisipasi memiliki
kekuatan dengan bagaimana keputusan-keputusan dilakukan dengan pertimbangan
dari yang menjalani kebijakan. Mendesain dengan metode partisipasi memiliki
kedekatan yang intim dengan pelaku itu sendiri. Hal ini membuat para pelaku
yaitu warga, menjadi mandiri dan dapat dengan fleksibel beradaptasi. Selain
itu, kebijakan-kebijakan apapun yang dibuat tanpa partisipasi warga
dikhawatirkan tidak berkelanjutan, sebaik apapun kebijakan itu dibuat. Selain
itu, inisiatif yang terbentuk tentu akan memiliki ciri khas, sesuai dengan
budaya masyarakat setempat dan akan menjadi sesuatu yang kaya untuk disebar dan
dipelajari.
Metode partisipasi ini sebelumnya saya pelajari dalam materi
perkuliahan. Beragam teori mengacu tentang bagaimana sekelompok masyarakat
memiliki tahapan-tahapan tersendiri sehingga kita harus beradaptasi dengan
tahap tersebut. Perlakuan yang diberikan pun berbeda-beda. Selama melakukan
proyek LabTanya, kami selalu memikirkan tentang seluas apa proyek ini akan
berjalan, siapa target sasarannya, dalam kurun waktu berapa lama, dan kemampuan
masyarakat untuk bisa merespon program yang kami usulkan.
Menurut Sherry R Arnstein tentang “Ladder of Citizen
Participation”, masyarakat memiliki 8 tahapan sebelum menuju ke aktivasi warga
yang sesungguhnya.
“The
bottom rungs of the ladder are (1)
Manipulation and (2) Therapy.
These two rungs describe levels of "nonparticipation" that have been
contrived by some to substitute for genuine participation. Their real objective
is not to enable people to participate in planning or conducting programs, but
to enable powerholders to "educate" or "cure" the
participants. Rungs 3 and 4 progress to levels of "tokenism" that
allow the havenots to hear and to have a voice:
(3)
Informing and (4) Consultation.
When they are proffered by powerholders as the total extent of participation,
citizens may indeed hear and be heard. But under these conditions they lack the
power to insure that their views will be heeded by the powerful. When
participation is restricted to these levels, there is no follow-through, no
"muscle," hence no assurance of changing the status quo. Rung (5) Placation is simply a higher level
tokenism because the ground rules allow have-nots to advise, but retain for the
powerholders the continued right to decide.
Further up the ladder are levels of
citizen power with increasing degrees of decision making clout. Citizens can
enter into a (6) Partnership that
enables them to negotiate and engage in trade-offs with traditional power
holders. At the topmost rungs, (7)
Delegated Power and (8) Citizen Control, have-not citizens obtain the
majority of decision-making seats, or full managerial power.”
Jika
ditelisik dari teori ini dan dihubungkan dengan kegiatan LabTanya, secara garis
besar yang kami lakukan adalah dalam tahap “informing” dan “consultation”. Meskipun
dalam detailnya ada banyak tahapan yang mungkin tidak disebut, namun secara
sederhana kedua praktik itu yang lebih banyak disorot. Warga yang
kami libatkan kebanyakan adalah warga Bintaro, yang notabene adalah warga
dengan tingkat ekonomi menengah keatas dan berpendidikan tinggi. Kebanyakan
adalah para praktisi atau pensiunan yang bergerak di macam-macam bidang. Tentu
memiliki tantangan tersendiri karena tidak seperti program partisipasi yang
biasanya bertempat di masyarakat marginal. Awalnya meskipun memiliki sambutan
antusias, namun belum banyak yang membangun kegiatan ini dengan kesadaran
‘aktivasi warga’. Jadi kurang lebih pada tahap awal satu tahun kegiatan
LabTanya, yang kami lakukan adalah menggali informasi sebanyak-banyaknya dan
menyebarkannya pada sasaran yang tepat. Menggali informasi terlebih dahulu
menjadi satu strategi komunikasi untuk menawarkan inisiatif sesuai fakta yang
dekat dan dapat dirasakan langsung oleh warga.
Misalkan
dalam kegiatan CaPing Tanpa Sampah, sebelum bertemu dengan warga, kami menggali
informasi dahulu sebanyak mungkin tentang jumlah sampah yang dihasilkan di
lingkungan mereka. Kami juga melakukan kunjungan ke TPA yang menampung sampah
warga. Memetakan gerobak pengepul dan jenis sampah apa saja yang diterima
menjadi tawaran kepada warga untuk bisa lebih mudah mengikuti kegiatan. Selain
itu, mendapatkan para relawan yang mau dihitung sampah hariannya dan diuji coba
dalam praktek mengurangi sampah menjadi contoh bagi warga lain. Informasi ini
terus dikumpulkan dan disebar pada waktu dan sasaran yang tepat. Sehingga pada
tahun pertama ini yang terus dilakukan adalah memetakan informasi.
Metode
komunikasi menjadi satu hal yang penting untuk menyampaikan maksud dan tujuan
tanpa terkesan memberi tugas besar dan merepotkan bagi warga. Dalam tahap ini
hubungan dua arah menjadi hal krusial. Tak hanya menyampaikan inisiatif,
namun juga membuka diri untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya. Mengikuti
kegiatan warga menjadi salah satu metode untuk tahap awal agar mengerti budaya
warga setempat dari kacamata mereka.
Selagi
menggali informasi dari warga, menemukan orang-orang sebagai “kunci” juga
menjadi salah satu sorotan penting memulai inisiatif. Dalam prosesnya,
orang-orang yang memiliki kesamaan motivasi dan bisa diandalkan dalam
kelompoknya menjadi pendorong utama untuk memulai inisiatif. Biasanya juru
kunci ini menjadi seseorang yang menjabat di lingkungannya, meskipun tidak
selalu demikian. Memegang kepercayaan juru kunci ini juga merupakan akses yang
cukup membantu untuk keberlanjutan program.
Dalam
proyek SERABI, kami bekerjasama dengan beragam komunitas di Bintaro. Tak bisa
dikatakan mudah pada awalnya. Beberapa inisiatif memang belum ditanggapi dengan
serius. Mungkin terkendala dengan prioritas komunitas itu sendiri. Namun, kami
rasa ketika bekerjasama dengan pemuda-pemuda karang taruna Pondok Pucung,
Arseda, kami melihat adanya potensi keberlanjutan karena mereka sudah memiliki
pondasi yang kuat sebagai suatu perkumpulan. Mungkin karena pemuda-pemuda
tersebut memiliki ikatan yang kuat dengan lingkungannya, maka dalam tahap ini
LabTanya hanya masuk dalam tahap ‘consulting’. Mereka sudah memiliki inisiatif
awal, namun terkendala kegiatan lanjutan. Disini proses pendekatan kurang lebih
sama dengan proyek Kota Tanpa Sampah yaitu mengikuti acara ‘nongkrong’nya.
Selanjutnya kerjasama berjalan karena Serabi dan Arseda saat itu memiliki
tujuan yang sama. Maksud inisiatif dapat tersampaikan karena sudah masuk dalam
satu frekuensi. Lebih detailnya, memang terdapat “juru kunci” dalam komunitas
Arseda yang dipandang sebagai sosok pemimpin dan inisiator. Juru kunci inilah
yang bisa mendorong inisiatif sampai ke titik partisipasi.
Banyak
potensi yang ada di lingkungan Bintaro terkait dengan kegiatan yang kami
lakukan. Namun, tantangan selanjutnya adalah bagaimana program ini dapat
berlangsung secara keberlanjutan. Banyaknya pensiunan di lingkungan kami serta
pekerja yang bolak-balik Jakarta-Bintaro, menemukan pemuda-pemuda sebagai
penerus kegiatan ini tentu bukan pekerjaan yang mudah. Dari beberapa hal yang
kami diskusikan dalam Ngobrol Serabi: Potensi Bintaro, keputusan warga untuk
tidak ikut serta dalam beragam kegiatan selain bekerja dan urusan keluarga
adalah banyaknya waktu yang mereka habiskan dalam perjalanan sebagai komuter.
Hal itu menyebabkan kurangnya waktu mereka di rumah dan waktu akhir pekan yang
banyak dihabiskan untuk berjalan-jalan di pusat perbelanjaan atau di rumah. Hal
ini yang lebih lanjut lagi kami temukan sebagai kemungkinan penyebab beragam
komunitas kreatif di Bintaro kurang berjalan aktif.
Terkait dengan perjalanan
rumah-kantor para komuter di Bintaro yang menyebabkan tidak ada waktu untuk
warga berkumpul dengan komunitas, saya teringat tentang proyek A[park]ment. A[park]ment
memiliki isu utama yaitu bagaimana kota belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan
ruang bagi warganya. Dengan menggunakan mobilitas komuter sebagai salah satu
bahan kajian, ternyata masalah laten Jakarta seperti kemacetan terjadi karena
urutan kejadian yang saling berhubungan. Menjadi komuter, selain berpengaruh
kepada kota yang dituju sebagai tempat bekerja, juga dapat berpengaruh ke
budaya pekerja itu sendiri di lingkungan tempat tinggalnya. Mungkin kedekatan
antara tempat bekerja dan tempat tinggal juga berperan dalam bagaimana warga
dapat menempatkan diri untuk berkumpul, berinisiatif dan berpartisipasi di
lingkungannya. Hal tersebut menjadi suatu poin yang dipertimbangkan untuk
mengidentifikasi tahapan lingkungan akan suatu partisipasi warganya.
Tahapan dari partisipasi
warga ini mungkin memiliki variabel yang berbeda-beda di setiap tempat. Untuk
dapat mencapai partisipasi aktif warga memang perlu dilakukan beragam motivasi.
Akan lebih tepat sasaran apabila motivasi tersebut muncul dari galian-galian
informasi yang bisa dipetakan dengan baik. Informasi yang telah kita dapatkan
bisa menjadi suatu tawaran sehingga inisiatif ini dapat direspon oleh warga,
baik berupa saran dan kritik. Saran dan kritik inilah yang sebenarnya penting
dalam urbanisme warga, yaitu berkumpul untuk musyawarah dan berdiskusi,
membahas suatu isu dan potensi, menyampaikan pengetahuan ke generasi
selanjutnya. Jika minimal budaya menggali informasi, menyebarkan, dan berkumpul
ini kembali mengakar, maka itulah salah satu pintu untuk mendorong warga
kembali aktif berinisiatif.
Subscribe to:
Posts (Atom)